Bab 89. Rasa Iri yang Mematikan

1.3K 402 66
                                    

”Apa tidak terlalu mencolok Mas?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

”Apa tidak terlalu mencolok Mas?”

Gempar menjejak ban mobilnya dan menangkap cucu Pak Sugih yang sejak tadi mengajaknya bercanda. Bocah laki-laki dengan kaos kutang itu tertawa-tawa saat Gempar mengangkatnya tinggi-tinggi. Gempar menahan anak itu dalam gendongannya dengan hanya memegang pinggang anak itu saja. Hal yang justru membuat anak itu terus tertawa-tawa.

”Tidak. Abdi dalem Keprajan yang bekerja pada keluarga kita sebagian besar adalah aparat. Pensiunan TNI-POLRI, Satpam, Polisi Pamong Praja dan bahkan ada yang masih aktif. Mereka sangat berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Jangan khawatir.”

Andi termenung. ”Keluarga kita...” Dia mendongak dan menatap Gempar yang berjalan ke arah toko suvenir dan penyewaan baju adat milik keluarga Pak Sugih. Mereka kini sedang menunggu beberapa orang abdi dalem Keprajan yang akan memberikan penjagaan pada keluarga pria itu setelah tadi mereka mencapai kesepakatan dengan istrinya yang segera mengerti bahwa mereka harus melakukan itu.

Andi tersenyum melihat Gempar betah bermain dengan anak-anak kecil. Beberapa bocah sekarang mengekornya ke sebuah warung dan mereka keluar dengan membawa masing-masing sebuah es krim. Andi tertawa saat Gempar mengulurkan sebuah es krim rasa pisang padanya.

”Terima kasih Mas. Anak-anak itu, senang sekali menjadi mereka.”

”Tidal memiliki masalah begitu maksud kamu?”

”Kurang lebih Mas.”

”Kita ubah cara pikir kita sekarang. Kita yang diberikan kesempatan terlibat dalam masalah keluarga yang besar, Allah memandang kita sanggup mengatasinya. Bagaimana? Tidak semua memiliki kesempatan dipilih oleh Allah seperti itu. Huum?”

Andi membuka bungkus es krimnya dan menikmatinya sambil melamun memikirkan ucapan Gempar barusan. Dia menatap ke arah undakan makam raja-raja Yogyakarta yang mengular di kejauhan, yang konon katanya, siapapun tidak akan berhasil menghitungnya saat menaikinya hingga bagian teratas. Itu seperti sebuah mistis yang turun temurun diceritakan oleh orang-orang.

 Itu seperti sebuah mistis yang turun temurun diceritakan oleh orang-orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau mencoba menghitung? Sana. Masukkan uang infak di kotak yang dijaga oleh abdi dalem keraton itu.”

Andi menghabiskan es krimnya dan membuang bungkusnya ke tempat sampah yang ada di dalam mobil. Tanpa berpikir apa-apa lagi, dia bergegas ke arah dua orang abdi dalem sepuh yang menjaga kotak dan meminta izin untuk naik sampai gapura pertama. Andi memasukkan selembar uang seratus ribuan dan mulai melangkahkan kakinya.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang