Bab 38. Dendam dan Api

1.4K 429 76
                                    

Mengusir kesedihan tidak semudah membalikkan telapak tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengusir kesedihan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Garin memilih memberikan Gia waktu sebanyak yang dia mau. Dia tahu, istrinya buka tipe wanita yang ketika dia berkata ini uang 100 juta, pergilah berbelanja dan dia akan pergi. Mungkin akan lebih mudah kalau situasinya seperti itu. Tapi Gia bukan tipe seperti itu. Dan bukan pula tipe yang harus terus menerus dihibur dengan kata-kata menenangkan. Gia adalah Gia dan Garin memilih untuk melihat saja apa yang dilakukan oleh istrinya itu, tanpa dia berusaha untuk mencegah.

Hari ke-3 setelah Miki dikuburkan, sebuah kebiasaan baru muncul. Gia akan meluangkan waktu untuk duduk-duduk di depan pusara Miki. Hanya duduk saja, dan sesekali bergumam lirih. Pagi, siang dan sore Gia melakukan itu dan mengatakan bahwa dia akan membaik seiring berjalannya waktu.

Sore hari saat Garin membuka laptop di gazebo halaman belakang. Dia mendongak saat Gia datang dengan nampan berisi teh dan makanan.

 Dia mendongak saat Gia datang dengan nampan berisi teh dan makanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas benar mau memulai semuanya besok?"

"Depend on ya, Dek. Besok Mas dipanggil ke Dinas Pendidikan kalau izin sudah turun dan tinggal menandatangani beberapa berkas."

"Cepat sekali..." Gia berbisik lebih pada dirinya sendiri dan menatap Garin yang sepertinya enggan memberi tanggapan pada apa yang dia ucapkan barusan. Pria itu menyesap teh dan memakan kue klepon dengan garpu. "...oya... bagaimana dengan para pelamar?"

"Mas akan menyeleksinya besok."

"Pria itu...siapa namanya kemarin...huum..." Gia berusaha mengingat-ingat sebuah nama.

"Mas menolaknya. Dia terlalu sempurna tapi tidak memiliki nyawa sebagai pengajar."

"Rafael Nadal."

"Huum." Garin mengangguk dan kembali menyesap tehnya. Dia kembali menatap layar laptop dan menekuninya sementara Gia masih termenung. Dia kembali mengingat-ingat CV pria bernama Rafael Nadal itu dan apa yang dikatakan oleh Garin memang benar. Pria itu dan kualifikasinya terlalu sempurna tapi kesan tidak memiliki jiwa sebagai pengajar terlihat jelas pada sosok itu. Matanya terlalu dingin dan seakan menyimpan sesuatu yang berbahaya.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang