Bab 102. Aset yang Terjual Satu Demi Satu

1.2K 382 38
                                    

”Aku tidak bilang seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

”Aku tidak bilang seperti itu...”

”...lalu apa maksudnya semua baik dilakukan setelah anak ini lahir?”

”Karena segala sesuatu memang baik dibereskan satu persatu.”

”Jangan memberi aku harapan lebih.”

”Aku tidak berani melakukannya atau aku yang akan merasakan akibatnya.”

”Aku tidak akan meminta maaf untuk itu.”

”Apa yang bisa aku harapkan, huuh?”

”Karena aku tidak bisa mengendalikan diriku jadi itu bukan sepenuhnya salahku.”

Rion menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Mereka bicara tertahan dan pembahasan tentang hal itu sebenarnya benar-benar dihindari oleh Rion. Tapi ketika Lintang mendadak ragu lagi dengan jalan yang dia ambil, maka topik itu tidak terhindarkan.

Rion beringsut maju dan mengikat tali baju rumah sakit Lintang. ”Karena aku pria, bukan berarti aku tidak boleh memelihara sakit hati. Aku juga manusia.”

”Lalu Mas akan mengingat nya sampai nanti-nanti. Dan kalau sudah seperti itu...seperti apa akhir dari semua ini?”

”Tidak usah dipikirkan sekarang. Konsep kita berbeda dari yang dulu.”

”Konsepnya Mas Rion. Bukan aku.”

”Konseling akan dimulai sebentar lagi. Mas akan menunggu di ruang tunggu.”

Lintang menatap meja jaga perawat saat mendengar namanya dipanggil. Dia menatap Rion lekat sebelum berjalan ke arah ruang konseling.

”Aku juga tidak bisa berjanji bahwa semua ini akan berhasil.” Lintang berkata pelan. Keseriusan terdengar dari nada bicaranya. Yang terlihat dari raut wajahnya bukan sebuah ketidakyakinan. Tapi kepasrahan bahwa sebuah usaha selalu memiliki dua akhir yang berbeda. Berhasil dan tidak.

Rion membeku di tempatnya. Menatap Lintang yang menghilang di balik pintu ruang konseling. Rion berjalan ke ruang tunggu dan membuka ponselnya. Dia membalas beberapa pesan dari rekan kerjanya dan dari penjaga toko barang antik miliknya. Dia juga memastikan keadaan Enggar, adiknya yang bahkan masih saja enggan berkabar padanya. Kesibukan yang dia harap mampu mengalihkan penat di kepalanya itu, nyatanya hanya bertahan sebentar saja. Rion menimang ponselnya dan kembali menatap pintu ruang konseling yang tertutup rapat.

Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Terlihat seperti sudah saling membuang muka satu sama lain, namun sejatinya mereka tetap terikat satu sama lain. Atau setidaknya, salah satu pihak memaksakan diri untuk tetap terlibat dengan yang lainnya.

”Ibu yakin penjualan rumah itu sudah beres dan tidak akan menyisakan persoalan apapun di kemudian hari?”

”Sudah, Le. Yang membeli adalah perusahaan konstruksi yang cukup besar. Ibu sudah menyelidiki semua. Maksud ibu, pemiliknya dan seluk beluk perusahaan itu.”

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang