Annyeong haseyo...
*
Menunggu seseorang dalam perjalanan yang memakan waktu 2 jam. Dengan spekulasi waktu itu akan bertambah menjadi 3 jam kalau situasi jalanan macet.
Gia melirik Garin yang nampak tenang. Pandangannya lalu beralih pada gelas-gelas kopi yang ada di meja ruang tamu. Sudah 2 kali gelas-gelas itu diisi ulang oleh Mbak Lastri. Lalu pandangan Gia tertuju ke teras rumah. Hatinya menjerit pilu dan dia bahkan menepuk dadanya samar. Gerakan yang tertangkap oleh mata Garin yang menatapnya lekat. Gia menggeleng pelan. Dia tetap tidak habis pikir, bapak-bapak komplek duduk-duduk di teras rumah Garin sambil mengobrol santai.
"Sabar ya Mbak."
Gia menoleh ke arah Mbak Lastri yang meletakkan teh hangat ke depannya. Gia bergumam pelan serupa tangisan.
"Ini sudah mau subuh, Mbak." Gia berbisik lirih.
"Mbak Gi bilang perjalanan lancar kok Mbak."
"Duh...apa ya harus seperti ini jalannya Mbak?"
"Loh...tidak apa-apa. Ini takdir."
Giana menertawakan takdirnya sendiri dan menatap Mbak Lastri yang beranjak dan pergi ke dapur. Wanita itu tadi tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena dia ketiduran dan tidak sempat meminta Garin pulang. Namun, berbanding terbalik dengan Gia, Mbak Lastri jelas tenang-tenang saja pada aksi yang dilakukan oleh Pak RT dan kawan-kawan.
Terpisah oleh sebuah pintu penghubung yang terbuka, Gia menatap Garin yang berbicara dengan Pak RT. Beberapa kali Gia mendengar nama Mbah Kaum disebutkan oleh pria baya itu. Gia menelan ludah kelu. Dia samar mengingat raut wajah Mbah Kaum. Beliau sesepuh di RT tempat mereka tinggal dan sering menjadi imam sholat tarawih.
Gia tersentak ketika adzan subuh berkumandang. Dan seakan panjang sekali umur Mbah Kaum, pria itulah yang mengumandangkan adzan di masjid komplek. Gia beranjak ketika semua orang membubarkan diri.
"Mas ke masjid dulu, Dek."
Gia menarik lengan Garin dan menatapnya penuh tanya. "Bagaimana, Mas?"
"Ya kita menunggu Mas Banyu Biru kemari."
"Yang lain juga Mas? Pakde Farel? Mbak Agni?"
"Selain Michiko dan Mbak Nesa sepertinya semua bisa."
"Heh?"
"Bapak dan ibu bagaimana?"
"Mereka sudah dalam perjalanan. Mas Granada dan Mbak Senja yang mengantar."
"Ya sudah. Mas jalan dulu ya."
Gia mengangguk dan melepaskan pegangan tangannya dari lengan Garin. Pria itu berjalan ke arah teras dan keluar dari halaman rumah bersama dengan Pak RT. Gia berjalan ke depan dan menutup pintu. Dia lalu berbalik dan berpamitan pada Mbak Lastri untuk pulang sholat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFTOVERS LADY
RomansaTentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun. Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...