Tanah kuburan itu sudah tidak terlihat baru. Kini dia sudah seragam dengan sekelilingnya. Di petak sederhana dengan rumput hijau yang terawat. Kembang yang ada di atasnya bahkan bukan lagi kembang tabur, melainkan kembang aster yang diletakkan di dekat papan penanda.
Andi duduk di sebuah bangku kecil yang sengaja diletakkan di bawah pohon kamboja. Dia menatap makam ibunya dan membisu. Andi meluruskan kakinya dan kaki itu mulai bergerak-gerak seiring dengan pikirannya yang mengembara.
”Tidak banyak yang bisa dilakukan, Bu. Kesaksian Pak Wahyu atas perbuatannya sudah cukup kuat untuk menjebloskan pria itu ke penjara.”
Persidangan berlangsung cepat dan dibuka untuk umum. Andi baru saja dari Solo mengikuti persidangan itu. Tidak membutuhkan banyak waktu untuk para penegak hukum menjatuhkan putusan. Penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas bersyarat menggantikan hukuman mati sesuai tuntutan jaksa penuntut umum. Hakim yang mulia menilai bahwa Pak Wahyu menyesali perbuatannya, tidak ada catatan hukum sebelumnya, dan mengakui perbuatannya dengan menyerahkan diri ke polisi menjadi pertimbangan pria itu tidak menerima hukuman mati.
”Seharusnya ibu lebih kuat kan Bu? Mereka memblok semua orang yang sekiranya bisa menjadi saksi meringankan. Semua orang berpikir ini sudah selesai. Tapi Andi tidak berpikir seperti itu Bu. Banyak alat bukti yang raib dan mereka menutup mata. Di mana ponsel ibu? Di mana ponsel Pak Wahyu?”
Benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan. Memaksakan diri menghadirkan Pak Sugih sebagai salah satu saksi juga tidak mungkin karena entah mengapa, pria itu menolak. Terakhir kali terhubung dengan pria itu, dia benar-benar seperti ketakutan dan tidak mau ikut campur dalam kasus itu.
Andi memasang lagi masker wajah nya. Dia menegakkan tubuhnya dan menepuk kedua lututnya. Bahkan untuk bisa menyaksikan persidangan itu, dia harus berada dalam penyamaran dan harus sangat berhati-hati karena selama persidangan, orang-orang bayaran Niken Palupi dan Rafael Nadal berkeliaran di mana-mana di sekitar pengadilan negeri Solo.
”Sudah?”
Andi menoleh dan mengangguk. Prof Garin yang bersamanya dari Solo balas mengangguk dan berjalan di sepanjang jalanan konblok tanah pemakaman itu. Andi mengekor pria itu menuju pintu masuk pemakaman, menghampiri mobil yang terparkir di bahu jalan. Mereka masuk ke mobil dan segera mobil merayap meninggalkan area pemakaman yang sejatinya tidak begitu jauh dari Griya Bausasran.
Dan memasuki rumah utama keluarga Danurwendo. Andi menarik napas lega untuk setiap momen itu. Dia menatap dari kaca spion luar mobil, pintu gerbang gagah di kejauhan tertutup perlahan. Seiring gerbang yang tertutup sempurna, rasa aman selalu menyelusup hatinya.
”Bersih-bersih dulu dan makan.”
Andi terlihat mengangguk. Profesor Garin di matanya adalah pria jenius yang kaku. Tapi sikapnya tetap terasa hangat baginya. Sekali lagi, dia mengekor pria itu dan mereka berpisah di aula.
Rumah yang terasa sunyi bagi siapapun yang sudah terbiasa. Bahkan bagi Garin yang menyambut uluran tangan istrinya dan mereka masuk ke kamar. Garin membersihkan dirinya dan mengganti bajunya dengan baju bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFTOVERS LADY
RomantizmTentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun. Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...