Tentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun.
Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Formasi duduk yang berubah. Garin menarik kursi yang biasa dia duduki untuk Gia. Tidak ada yang mengatakan apapun tentang itu, namun gesture tubuh Garin cukup kentara, dia ingin menjauhkan istrinya dari pandangan mata tamu spesial malam itu.
Makan malam yang berlangsung seperti biasa. Percakapan ringan tentang bisnis dan situasi di luar. Suasana hangat dengan cuaca yang baik-baik saja. Garin menatap kedua mertuanya yang bersedia menginap setelah mendengar kabar tentang kehamilan Giana. Bapak mertuanya terlihat mengobrol seru dengan Mas Farel, begitu juga ibu mertuanya yang mengobrol dengan suara pelan dengan Mbak Nesa.
"Mau istirahat sekarang atau bagaimana?" Garin mendekat ke arah Gia yang membisu.
"Nanti setelah Mbak Mayang selesai, Mas. Biar aku yang urus."
"Huum. Langsung istirahat saja ya? Tidak usah menunggu, Mas. Bapak dan Ibu nanti biar abdi dalem yang membantu. Garin tersenyum dan mengusap punggung tangan Gia yang mengangguk. Mereka meneruskan makan dan beberapa saat kemudian, Gia beranjak ketika kakaknya memundurkan kursi rodanya. Semua seakan sudah mengerti, Mayang Pratiwi akan meninggalkan ruang makan terlebih dulu.
Pandangan Garin melayang ke arah Rafael yang setengah menunduk. Pria itu tersenyum kecil dengan sudut bibir sedikit terangkat selayaknya orang yang sedang mencemooh sesuatu. Lalu Garin melihat sudut mata pria itu mengekor istri dan kakaknya hingga mereka meninggalkan ruang makan itu. Tatapan kemenangan seakan dia merasa bahwa dia telah berhasil menebar ketakutan untuk mereka.
"Huuh..." Garin menghela napas pelan saat pandangan matanya terkunci sesaat pada Rafael yang menaikkan alisnya. Pria itu jelas tengah bersikap seakan dia keheranan dengan situasi itu. Nyaris seperti ketika seseorang mengendikkan bahu tanda bertanya. "Apa yang sudah aku lakukan?"
Akhirnya, kalau ada yang Garin syukuri malam itu adalah Gia yang tidak keluar lagi dari kamar kakaknya dan makan malam yang berakhir lebih cepat karena Mas Banyu Biru yang berhasil menandai bahwa situasi saat itu cukup canggung. Semua orang meninggalkan ruang makan lebih cepat dari biasanya. Atau setidaknya itu yang dilakukan oleh Lintang Dianti sementara sahabat-sahabat Mas Banyu Biru berpindah ke pendopo untuk mengobrol. Garin meminta seorang abdi dalem membantu mertuanya menuju kamar mereka lalu dia berjalan keluar menuju teras.
Garin menatap Lintang Dianti yang bercakap-cakap dengan Mbak Agni sambil berjalan keluar dari rumah induk. Dua wanita itu tertahan di undakan teras menunggu Rafael yang melambatkan langkahnya. Garin bergeming saat pria itu berdiri di dekatnya sambil menatap ke depan.
Tidak ada basa basi saling menanyakan kabar selayaknya dua orang yang saling mengenal di masa lalu. Garin terlihat tak acuh dan benar-benar tidak ingin melakukannya. Dia bahkan merasa bergidik ngeri ketika ingatannya selalu kembali pada momen mengerikan saat terakhir kali dia melihat pria itu.
"Siap bermain, Prof?"
"Siap untuk benar-benar hancur?" Garin menjawab singkat tanpa ekspresi apapun. Suara rendahnya terdengar serius nyaris seperti sebuah suara tanpa kebaikan di dalamnya. Sisi lain dari dirinya ketika merasa terusik. Bahkan ketika sepanjang makan malam dia masih berpikir bahwa Rafael adalah sosok yang sudah berubah dibanding dirinya di masa lalu, maka pertanyaan pria itu barusan, meneguhkan keyakinan Garin bahwa pria itu memang mengibarkan bendera perang padanya.