Tentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun.
Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gia duduk di sofa dan membuka majalah di pangkuannya. Majalah anak-anak edisi khusus yang dibawakan suaminya dari rumah Kotagede. Sesekali dia menegakkan tubuhnya dan melongok ke dalam ruangan khusus di mana Pak Jagad berada. Dia juga sesekali menatap ke arah pintu yang tertutup dan belum mendapati tanda-tanda Bu Indarti akan kembali ke tempat itu. Wanita itu sedang dicek kesehatannya oleh dokter Ilman.
"Cerita ke 7 dari..." Gia mengamati sampul majalah itu. "...50. Huum..."
Gia melanjutkan membaca dan kembali terhanyut ke masa lalunya. Dia tersenyum tipis dan merasa sudah sangat tua. Gia mengingat hari-hari nya menunggu majalah itu datang setiap hari Kamis.
Gia menoleh ke arah pintu setelah lima belas menit yang sunyi ditingkahi alat monitor detak jantung. Bu Indarti masuk sambil tersenyum tipis. Gia beranjak dan mengangguk ke arah wanita itu.
"Terima kasih Mbak Giana."
"Sama-sama, Bu." Gia mengangguk sekali lagi dan berjalan ke arah pintu. "Saya permisi dulu."
Tidak ada jawaban, hanya anggukan yang sekilas tertangkap oleh mata Giana sebelum keluar dan menutup pintu perlahan. Gia menghela napas pelan dan berjalan melintasi kolam renang meja dan berhenti di dekat sebuah coffee bar. Gia seperti termenung dan menautkan alis. Dia mengusap perutnya dan berpikir sangat dalam.
"Bu Indarti sepertinya bukan tipe perempuan yang suka beramah tamah. Dia itu cenderung diam dan bicara sedikit saja. Apa memang seperti itu sejak dulu?"
Gia mengangkat majalah Bobo di tangannya dan mengibaskan nya dengan perasaan bingung. Gia menoleh sekali lagi ke arah kamar khusus di ujung sana sebelum menjangkau anak tangga dan menaikinya pelan. Gia yang tidak ingin kepo pada urusan apapun di rumah itu selain urusan kakak ipar dan keluarganya, memilih menyibukkan dirinya di kebun belakang. Dia memotong dahan-dahan kering pokok mawar milik Mbak Agni.
Gia menatap ke sebuah bangunan di kejauhan. Bangunan itu seperti sebuah lumbung pangan yang estetik dengan material kayu yang mendominasi.
"Apa yang mereka lakukan di sana kok betah sekali?"
Gia terus menatap bangunan lumbung itu sambil meregangkan tubuhnya. Suaminya dan Gempar sudah berada di sana setelah sarapan. Gia menoleh ke arah pintu belakang rumah induk dan tidak menemukan siapapun di sana. Ilman jelas meminta izin untuk tidur setelah shif malam yang panjang. Dan bisa dipastikan Mbak Giarti sedang sibuk di dapur.
Gia menatap sekelilingnya dan kesunyian menyergap tiba-tiba. Bahkan dia bisa mendengar dengan jelas suara angin dan kumbang pohon menjerit di kejauhan. Gia meneruskan memotong dahan mawar kering hingga bersih. Dan tak urung, dia penasaran dengan apa yang dilakukan suami dan keponakannya di lumbung.
"Ya Allah...ampuni hamba." Gia menatap gunting tanaman di tangannya. Dia berjalan ke arah lumbung di kejauhan dan menahan napas. Dengan hati-hati dia melintas taman belakang dan jalanan setapak berbatu menuju pagar lumbung.