Bab 106. Alibi di Tengah Badai

1.2K 380 81
                                    

Pembicaraan dengan suara yang sangat pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pembicaraan dengan suara yang sangat pelan. Suasana lengang dengan aroma rumah sakit yang kuat.

”Apa diffuser nya sudah dinyalakan sus?”

”Sudah ibu. Dengan aroma sesuai yang ibu minta.”

”Baik. Terima kasih banyak.”

Suasana kembali lengang. Sangat lengang bahkan untuk sebuah desahan pelan, terasa cukup kuat. Dan derit halus kursi roda bahkan membuat nestapa.

”Oooh! Ini terlalu berat untuk ditanggung.”

Kehidupan berjalan sesuai sudut pandang Mayang Pratiwi. Wanita itu menggapai tepian jendela dan menyibak tirai. Dia menatap kejauhan dengan pandangan kosong. Berada di rumah sakit tentu tidak masuk dalam jurnal kegiatan hariannya. Jadwal terapinya bahkan sudah dilonggarkan seiring keadaanya yang semakin membaik. Dia memang tidak akan bisa berjalan, tapi tubuhnya terutama kaki dan tangannya semakin kokoh dan sehat. Mayang Pratiwi sudah bisa melakukan banyak hal sederhana sendiri termasuk merajut walaupun hasilnya tidak lah sempurna. Dia mensyukurinya, setidaknya tangan kanannya sudah bersahabat dengannya dengan semakin kokoh.

”Makan dulu Bu...”

Mayang Pratiwi menoleh. Rasanya, gengsinya akan tetap besar dan bercokol kuat ketika dia berhadapan dengan anak tirinya yang bahkan lebih tua 3 bulan dibanding dirinya. Dian Agni masuk ke ruang tunggu rumah sakit sambil membawa dua buah paper bag. Wanita itu menyiapkan sarapan yang terlambat di atas meja.

”Bagaimana dengan kafe? Apa tetap buka?”

”Aku punya banyak karyawan yang bisa dipercaya dan hari ini akan berjalan seperti biasa. Kalau mau menangis, menangis saja.”

”Hiish...” Mayang Pratiwi mencebik dan kembali melayangkan pandangan ke kejauhan. Jalanan utama di depan rumah sakit ramai lancar. Dia kembali menoleh ke arah Dian Agni saat wanita itu mengulurkan kotak makan ke pangkuannya. ”Ooh...ini berat sekali kan?”

”Huum...” Desahan halus dan disertai gesture menegakkan tubuh, sangat jelas menggambarkan bagaimana Dian Agni berjuang sangat keras untuk berdamai dengan situasi yang mereka hadapi sekarang.

Mayang Pratiwi memulai suapannya. Sudah berbulan-bulan dia makan sendiri setidaknya sekali dalam sehari tanpa dibantu oleh perawat. Dan itu ketika Giana mengurusnya. Adik iparnya itu yang selalu menguatkannya. Tidak memberi nya pandangan aneh karena dia yang belum terampil. Giana selalu sabar.

Mereka harus makan. Jadi mereka melakukannya. Dian Agni juga mulai menyuapkan sarapannya. Mereka tidak berbicara apapun. Bento dari restoran Jepang di sudut jalan sangat menggugah selera namun mereka harus berjuang sangat keras untuk menikmatinya. Dan sejatinya, mereka benar-benar berada di titik terendah.

 Dan sejatinya, mereka benar-benar berada di titik terendah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang