Pria, mungkin sangat mudah membeku hatinya. Mereka yang menggunakan logika di kehidupan sehari-hari, sering mengesampingkan perasaan yang bahkan mungkin mengalahkan logikanya.
Mungkin itu terjadi juga pada Rion Sambara.
Dan mengobati luka-luka Lintang Dianti jelas bukan menjadi bagian dari situasi itu. Pembawaan tenangnya tidak terusik. Setelah mencari beberapa obat ke apotik yang berselang tiga ruko di sebelah kanan galeri, mengobati luka Lintang yang terlihat oleh matanya adalah yang dia lakukan sekarang. Melakukannya sambil membisu. Mengabaikan desisan kesakitan yang keluar dari mulut wanita itu, Rion berpindah ke area tulang selangka yang bekas lukanya bahkan masih terlihat baru.
Kegiatan yang berlangsung lama. Lalu menjadi sebuah hal yang mudah ketika Rion berhasil menepikan rasa canggung di hatinya. Dia menggeleng ketika melihat bekas luka di cuping telinga Lintang yang sudah menjadi koreng. Rion mengabaikannya dan berpikir luka itu toh sudah membaik.
Lalu terhenyak saat dia menyibak terusan yang dipakai Lintang. Mendapati luka yang begitu banyak di pundak dan punggungnya. Rion terpaku sejenak sebelum mengoleskan obat di permukaan kulit Lintang.
”Kalau sekiranya tidak bisa dikendalikan dan hasilnya adalah luka-luka seperti ini, sebaiknya berobat...”
Mereka berdua tahu apa yang dimaksud Rion dari penekanan suaranya yang menggantung. ”...ada terapi hormonal khusus untuk itu.”
Lintang Dianti tidak memberikan tanggapan. Namun dia juga tidak menolak ketika Rion mengoleskan salep untuk memar-memar di tubuhnya. Pria itu menghela napas dan tidak sekali pun menatapnya. Sejak tadi, mereka tidak melakukan kontak mata secara serius.
Galeri itu tidak berpendingin ruangan karena jelas sudah terbengkalai ketika keadaan mulai kacau. Rion menarik baju Lintang dan membenahinya. Dia mengembalikan sisa obat ke plastik dan merapatkannya. Tanpa bicara lagi, karena memang sudah merasa cukup melakukan kewajibannya sebagai sesama manusia, Rion berjalan keluar. Namun langkahnya yang sudah menjangkau pintu tertahan oleh ucapan Lintang.
”Aku lapar, Mas.”
Rion menelan ludah kelu dan terpaku di tempatnya berdiri. Dia membatu. Dia membisu. Lalu meneruskan langkah keluar dari galeri. Menyisakan Lintang yang terpaku dengan pandangan kosong dari matanya yang berkantong.
Hujan belumlah reda. Rion memeriksa ponselnya dan berdiri di tenda lesehan. Menjawab pertanyaan penjualnya yang cukup keheranan karena dia kembali ke tempat itu sementara makanan yang dibelinya tadi bahkan sudah diantarkan ke rumah.
Seharusnya kewajiban sesama manusia itu sudah cukup. Namun, kembali masuk ke galeri dengan beberapa item makanan dan menunggui Lintang Dianti makan dengan kesetanan akhirnya adalah yang dilakukan oleh Rion sembari hatinya berkali-kali menggaungkan bahwa semua atas dasar kemanusiaan.
”Anak ini kelaparan terus menerus.”
Kali ini, Rion yang membisu tidak memberikan tanggapan apapun. Matanya masih menatap tak percaya pada Lintang dan cara makannya yang benar-benar jauh dari tata krama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFTOVERS LADY
RomantikTentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun. Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...