Bab 52. Yang Seharusnya Saling Merindukan

1.4K 446 54
                                    

Kalau ada typo tolong ya ditandai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau ada typo tolong ya ditandai. Kemarin ada typo yang kemprey banget kalian anteng aja duh...

*

Pada garis masa yang sama, seseorang seakan tengah memaksakan kehendaknya pada orang lain dengan berbagai cara. Rencana disusun sedemikian rupa lalu orang itu mempermudah prosesnya dengan memanfaatkan pihak kedua.

Rafael Nadal tahu betul bahwa segila apapun seorang anak, seorang ibu tidak akan pernah tega menyerahkan anaknya pada pihak berwajib atau sekedar ke pihak yang berkompeten dengan hal yang berhubungan dengan kesakitan secara mental.

Pengingkaran. Rafael melihat itu di mata ibunya. Wanita itu tentu saja sering goyah dan seperti ingin berjalan di jalan yang lurus, namun Rafael selalu tahu bagaimana membuat ibunya itu mengikuti apa kemauannya dan mempercayainya setiap ucapannya.

"Rafa, pengeluaran kamu sudah terlalu banyak. Sebenarnya apa yang sedang kamu kerjakan, Le?"

"Ibu diam saja. Yang terpenting aku tidak main narkoba."

Niken Palupi terlihat menghela napas pelan dan mengulurkan selembar cek ke arah Rafael.

"Ini merepotkan Bu. Aku harus antri di bank. Bisa tidak aku memiliki akses sendiri?"

"Andi..."

"Apa haknya atas harta Jagadita Laksana yang menjadi hak ibu, heh? Dia bukan siapa-siapa. Ingat ya Bu...bapakku mati tidak wajar karena keparat itu. Aku adalah orang pertama yang akan bersorak kalau dia mati."

"Le...jangan bilang seperti itu Le. Nanti bisa jadi perkara kalau ada yang mendengar."

"Perduli setan, Bu. Aku tidak perduli apa tanggapan orang lain."

"Kamu menikah dengan anak dari Jagadita Laksana."

"Setidaknya aku menikahi anaknya. Tapi ibu? Jagadita Laksana hanya memberi ibu tempat tanpa surat resmi. Apa yang sudah ibu amankan jelas belum lah aman sepenuhnya. Apa ibu hanya akan menikmati semua ini sampai dia siuman? Lalu setelahnya ibu akan menjadi gundik lagi? Hidup dalam sangkar emas namun tidak memiliki surat-surat resmi untuk sangkar emas itu?"

Pembicaraan itu sekilas seperti pembicaraan wajar dari dua orang yang normal secara kejiwaan. Seperti satu hari yang normal antara ibu dan anak yang baru saja bertemu lagi.

"Mau kemana kamu, Le?" Niken Palupi ikut beranjak saat putranya berdiri sambil menyambar jaket yang ada di sandaran sofa.

"Keluar, Bu. Rumahku bukan di sini dan di sini terasa panas."

"Jangan minum-minum..."

"Aku tidak bisa menjanjikan itu pada ibu. Aku stres karena ibu. Aku harap ibu belum pikun akan kematian bapak."

Rafael keluar dari rumah besar dengan enam kamar itu dan menyalakan motor. Dia tidak memperdulikan adzan Isya' yang berkumandang. Rafael melaju motornya meninggalkan Jalan Tirtodipuran dan menggeber knalpot di pertigaan jalan sebelum berbelok ke utara.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang