Tentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun.
Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meletakkan beberapa paper bag dan memisahkannya menjadi 2 bagian, Rion tidak mengatakan apapun walaupun tadi ketika masuk dia tetap mengucapkan salam. Dia cuma mendongak sekilas pada Lintang Dianti yang terpaku di anak tangga paling bawah dan menatapnya dengan tatapan aneh.
"Mas..."
Rion menggeleng. "Kalau ada yang kamu butuhkan, kamu bisa mencatatnya dan memberikannya pada Pak Tugimin. Dia penjaga rumah Prof Garin."
Rion meneruskan langkahnya dan masuk ke mobilnya yang menunggu di bahu jalan. Mobil lalu melaju kencang ke arah timur.
"Kandungannya baik-baik saja Mas?"
"Kelihatannya seperti itu. Nanti kita mampir ke toko ponsel. Lebih baik dibelikan ponsel agar bisa menghubungi Rafael sendiri."
"Kalau kita memikirkan Andi, sebaiknya Mbak Lintang dibiarkan di galeri saja Mas. Bagaimanapun, bersama pria itu sangat berbahaya."
Rion melayangkan pandangannya ke jalanan. Sambil memijat pelipisnya pria itu terlihat berpikir keras. "Rafael sangat tahu kelemahannya dan menjadikan itu sebagai alat." Rion mencoba menjelaskan secara sederhana tentang apa yang dialami oleh Lintang. Dan kenyataannya, dengan sangat dewasa, Gempar bahkan tidak menunjukkan ekspresi kaget atau mencemooh situasi itu.
"Mbak Lintang tidak memiliki pondasi hidup bahwa sejatinya perempuan memiliki posisi harus mengatakan tidak di beberapa situasi dan kesempatan. Dan itu menyulitkan dirinya sendiri. Hubungan mereka adalah hubungan yang bisa dibilang toxic pada awalnya tapi kemudian setelah beberapa tahun Rafael bisa membaca situasi dan menjadikan hubungan itu sebuah ketergantungan di pihak Mbak Lintang."
"Huum..."
"...berarti Mbak Lintang butuh pertolongan kan Mas?"
Mereka tidak saling menoleh ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Gempar. Rion tidak mengangguk atau menggeleng. Gempar akhirnya merunduk dan mengamati jalanan. Dia mengurangi laju mobil dan perlahan mengambil jalur ke kanan karena dia harus berbelok ke Jalan Semar.
Pembicaraan diputus dan kesibukan berganti. Gempar terus melaju pelan keluar dari jalan utama dan menyusuri Jalan Semar. Fokus mereka mencari kontrakan dengan banyak pintu yang tepat berada di tepi jalan tidak jauh dari jalan masuk.
”Ini mungkin Mas.”
”Huum...sebentar aku tanya-tanya dulu.” Rion turun dan berjalan ke arah sebuah warung. Dia membeli beberapa botol air mineral dan bercakap-cakap dengan pemilik warung dan kembali beberapa saat.
”Katanya masuk saja, mau dibantu untuk panggilkan.”
”Oh...oke.” Gempar merayap pelan dan memasuki halaman rumah kontrakan yang cukup luas. Dia memarkirkan mobil dalam posisi keluar hingga memudahkan ketika mereka akan pulang. Pemilik warung menyeberang jalan dan dengan baik hati membantu mereka mengetuk salah satu pintu.