Bab 17. Pria Bernama Rafael Nadal

1.7K 452 87
                                    

"Hiish!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hiish!"

"Apa hiish?"

"Mana bisa begitu? Jangan bercanda masalah serius, Mas."

Gia mencoba mendorong pagar tapi Garin menahannya sambil tertawa.

"Mas tidak bercanda."

Gia mencebik lirih. "Sana pulang."

"Lah kok mengusir."

"Ini sudah mau dini hari. Nanti ada Pak Hansip."

Garin menahan tawanya dan beringsut mundur. "Tutup pagarnya."

Tanpa menunggu lagi, Gia menutup pagar rumahnya dan segera terdengar bunyi penanda pagar tertutup otomatis. Garin menghembuskan napas panjang dan tertawa sumbang. Dia menunggu sejenak sampai penanda pintu rumah tertutup otomatis terdengar sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan tempat itu. Garin lalu sibuk memasukkan mobilnya dan memeriksa sekeliling rumahnya. Dia mulai berpikir bahwa dia akan mempekerjakan satu dua orang penjaga rumah. Kalau memungkinkan, dia juga akan mencari asisten rumah tangga agar rumah itu tidak kosong kalau dia bepergian.

Membersihkan tubuhnya cukup lama di kamar mandi, Garin melemparkan handuk ke keranjang cucian dan memakai piyamanya. Dia tersenyum ketika ingat bahwa di sepanjang jalan, Giana memutuskan untuk membisu. Dan gadis itu benar-benar menolak bicara hingga beberapa saat setelah pertanyaan yang dia ajukan tentang Aninda.

"Aku akan menikahi gadis yang bisa menjadi ekspresif karena cemburu disebabkan keberadaan perempuan lain di sekelilingku."

Garin tertawa tertahan. Kata-kata itu akhirnya yang sanggup membuat Giana bersuara lagi. Gadis itu mulai nyerocos panjang lebar dan situasi menjadi lucu karena Giana yang terus mengatakan bahwa dia tidak boleh mengatakan hal seperti itu sebagai sebuah permainan kata saja. Pamali kata gadis itu.

"Aku bahkan tidak berniat main-main, Giana." Garin menyugar rambutnya dan merebahkan tubuhnya. "Aku hanya mengikuti ritme kamu. Sampai aku yakin bahwa perasaan kamu ke aku bukan hanya sebuah euphoria sesaat yang akan hilang dalam sekejap."

Garin mencoba memejamkan mata dan setelah beberapa kali berbolak balik gelisah, pria itu terlelap. Tidak ada waktu untuk memeriksa lagi situasi di sekitar rumah. Dan pada kenyataan bahwa area perumahan itu membaur dengan rumah-rumah penduduk menjadikannya lebih alami dan tidak ada kesan eksklusivitas. Toh pada masanya, para tuan dan nyonya jaman Belanda justru adalah pihak yang merangsek sedikit demi sedikit lahan para pribumi dan membuat koloni dengan rumah-rumah khas berarsitektur Eropa.

Kenyataan itu pula yang menjadikan area itu selayaknya perkampungan setara rukun tangga dengan pengamanan yang dilakukan bersama-sama. Kebijakan seperti kewajiban untuk ronda sesuai jadwal pada akhirnya sering berjalan kurang harmonis antara satu penghuni dengan penghuni lainnya. Ada saja alasan seseorang untuk mangkir. Kerja lah, belum pulang kerja lah.

Situasi itu nyatanya jelas terbaca oleh seseorang di dalam sebuah mobil sedan yang sedang berhenti 10 meter dari halte Persada. Pengemudi mobil itu terlihat merapatkan mantel dengan kancing-kancing ukuran besarnya lalu menyesap kopi panas dalam cup.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang