Bab 54. Kebimbangan yang Menyelinap Perlahan

1.8K 445 36
                                    

"Tidak apa-apa, Mas...ya sudah aku tutup ya."

"Mas pulang sebentar lagi."

"Huum..."

Salam diucapkan. Sambungan diakhiri dan Gia terpaku di tempatnya duduk. Dia tertawa sumbang dan menghela napas panjang. "Huuuft..." Gia meluruskan kakinya dan menyandarkan kepala ke pilar di sampingnya. Dia berdeham dan menegakkan tubuhnya saat ponselnya kembali berbunyi. Nama Garin tertera di layar.

Salam kembali diucapkan. Gia mendengarkan suara Garin yang diliputi ketergesaan. Pria itu seperti berbicara sambil berjalan cepat. Dia memintanya menunggu di Rumah Sakit. Sudah pasti Mbak Mayang menghubunginya dan suaminya itu menelpon sopir griya Bausasran yang mengantarnya karena dia bahkan belum sempat memberitahukan kabar tentang ibunya kepada siapapun.

Panggilan diakhiri dengan cepat dan Gia tetap duduk di tempatnya setelah beringsut lebih mendekat ke arah pilar. Gia menarik kakinya dan berdiam diri sambil sesekali membalas pesan Mbak Senja. Dia meminta wanita itu pulang ke rumah alih-alih langsung menuju rumah sakit dengan pertimbangan itu sudah cukup malam dan Ghania pasti kelelahan.

Roca Ramen dan Rumah Sakit Permata Medika tidaklah jauh. Pria dengan kondisi fit seperti Garin akan tiba di rumah sakit itu kurang dari sepuluh menit dengan berjalan kaki. Dan benar saja, langkah-langkah kaki di sepanjang koridor terdengar. Dan tak lama, Gia mengikuti sosok Garin yang melintas di depan ruang tunggu dengan pandangan matanya. Suaminya itu mencuci tangan di wastafel yang ada di depan ruang rawat inap lalu masuk ke ruang rawat. Gia menghela napas pelan.

Koridor kembali sunyi setelah beberapa menit berlalu. Gia yang menekuni ponselnya mendongak saat mendengar pintu ruang rawat dibuka. Pandangan matanya segera terkunci pada mata Garin yang menatapnya. Pria itu berjalan menghampirinya.

"Dek..."

"Ibu baik-baik saja, Mas."

Garin duduk perlahan di samping Gia. "Kok di sini? Ayo ke dalam."

"Nanti saja Mas. Di dalam kok rasanya pengap."

Gia menatap tangannya yang diraih oleh Garin dan merasakan dingin terasa dari telapak tangan pria itu.

"Sebaiknya kamu pulang dengan bapak biar Mas yang jaga di sini. Huum?"

"Aku mau di sini, Mas..."

Gia menatap Garin yang menggeleng. "Kamu pulang dengan bapak dan urus beliau."

Gia yang hendak meneruskan kata-katanya urung melakukan hal itu. Dia mengingat bagaimana ibunya tidak pernah membantah saat bapaknya menegaskan sesuatu hingga dua kali.

"Iya Mas. Tapi sebentar lagi ya."

Gia menghela napas lega ketika Garin mengangguk. Dia menatap tangannya yang digenggam oleh Garin erat. Gia memaknai nya sebagai cara suaminya itu membuatnya tenang.

"Mas...ada apa bertemu dengan Mas Bondan?"

"Mas Bondan menawarkan join bisnis. Mas ada beberapa mobil..."

"Beberapa?"

Garin menoleh ke arah Gia yang bertanya dengan nada heran. "Iya, beberapa...kenapa?"

"Pantas menganggur saja kok Mas tenang kelihatannya tenang..."

"Hahaha..." Garin tertawa tertahan. "...bukan seperti itu. Tapi Mas kan tidak perlu pamer ke kamu kan? Apalagi Mas sudah akan memiliki pewaris. Mulai sekarang kita ini bisa makan tiga kali sehari dan sesekali healing itu sudah cukup, Dek. Semua untuk anak-anak kita nanti."

Gia menatap Garin dengan heran membuat pria itu kembali tertawa dan tiba-tiba memberinya ciuman sekilas di bibir.

"Tentu saja Mas akan membahagiakan kamu sepanjang waktu. Istri bahagia, rumah tangga aman."

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang