Bab 60. Wanita-wanita yang Terbang Bebas

1.4K 426 59
                                    

"Biarkan saja dulu, Rin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Biarkan saja dulu, Rin. Kita sedikit demi sedikit menjadi tahu kisah di balik itu semua. Tapi, kedua belah pihak pasti memiliki pembenaran sendiri-sendiri atas apa yang terjadi. Kita tidak bisa turut campur terlalu banyak. Lintang jelas memiliki hak itu. Dan ingat, karma do exist. Untuk siapapun itu."

Garin mengangguk. Perbincangan tentang didudukinya kantor pusat pabrik batik Adiratna Ranjana di Yogyakarta oleh Rafael Nadal tidak begitu mengagetkan mereka. Kisruh di dalam pabrik itu sampai ke pekerja di lini depan. Beberapa mengambil keputusan untuk hengkang, tapi buruh kecil jelas lebih berpikir mereka membutuhkan pekerjaan di pabrik itu demi kelangsungan hidup mereka. Apalagi, Andi Maheswara jelas tidak memperkerjakan orang-orang baru ketika mengambil alih pabrik sebelum diambil oleh Rafael.

Sikap Banyu Biru sangat tegas. Keluarga Danurwendo hanya akan menolong Lintang Dianti dengan alasan kemanusiaan. Karena dia perempuan yang menjadi korban kekerasan yang berlebihan oleh Rafael Nadal dan terlihat oleh mereka yang jelas tidak bisa menutup mata untuk sebuah kedzaliman. Untuk selebihnya, mereka tidak akan ikut campur kecuali memang hal itu harus dilakukan.

Menyisakan Garin dan Gempar di ruang kerja almarhum Raden Mas Bhisma Danurwendo. Mereka menekuni laptop yang sejak tadi menyala.

"Aku heran saja Om. Andi Maheswara meninggalkan begitu saja basecamp nya. Ada apa dengan dia?" Gempar menunjuk ke arah layar laptopnya. Gempar sudah beberapa hari mencoba menelusuri keberadaan pria itu dan aktivitas nya, namun nihil. Dia menghilang dan tidak melakukan transaksi elektronik apapun di Yogya.

"Bisa dipastikan dia ada di luar negeri. Bagaimana dengan tangan kanannya? Pak Wahyu Iskandar?"

"Pria itu sepertinya juga tidak melakukan pergerakan apapun. Kita perlu memberi tahu Mas Rion, Om. Siapa tahu Andi Maheswara ada di Singapura."

"Huum...biar Om yang mengirim pesan. Mereka seharusnya sudah tiba di Singapura sekarang. Tapi teman Mas belum memberi kabar. Rion juga."

Garin menekuni ponselnya sementara Gempar terus menatap layar laptop dan mengumpulkan berita-berita yang berseliweran di beberapa portal lokal tentang kegaduhan yang terjadi di pabrik batik Adiratna Ranjana. Dan Gempar sempat mengutarakan pemikirannya tadi, bahwa pihak Niken Palupi sengaja mem blow up apa yang mereka lakukan untuk tujuan tertentu. Tapi yang cukup mengherankan Gempar adalah tidak adanya campur tangan Andi Maheswara kali ini. Itu cukup aneh karena dia tahu, andil Andi Maheswara dalam pengambilalihan pabrik dari Jagadita Laksana sangat besar.

Menunggu balasan pesan menjadi sangat membosankan. Garin jelas terlihat khawatir karena Rion nyatanya mematikan ponselnya.

"Mati, Le."

"Mereka sedang di rumah sakit mungkin Om?"

"Atau ada yang tidak beres? Lintang juga mematikan ponselnya."

"Huum...kita tunggu sebentar lagi Om."

Garin mengangguk dan keluar dari ruang kerja di sayap kanan itu. Dia berjalan melintasi aula dan menuju kamarnya. Hari merangkak siang. Garin terhenyak ketika merasakan suhu kamar yang sangat dingin dan Gia yang meringkuk sambil memakai selimut rapat.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang