Bab 68

180 14 0
                                    

Renata mendekap suaminya dengan erat. Pria dewasa seperti Dirga, merintih dan mengucap kata 'tolong' hanya karena demam? Pasti bukan tingginya suhu tubuh Dirga yang menyakitinya, melainkan sesuatu yang begitu membebani mentalnya.

"Ssstt... jangan khawatir. Aku selalu di sini kok. Mau ya makan roti sedikit? Habis itu minum obat penurun demam. Atau mau nasi aja?"

"Roti," jawab Dirga lemah.

Renata mencium kening Dirga sebentar sebelum turun ke dapur untuk mengambil roti dan minuman hangat. "Tunggu sebentar ya."

Dirga mengangguk lalu membaringkan dirinya lagi di tempat tidur. Ketika Renata kembali ke kamar, dia melihat Dirga masih terbaring lemah di ranjang.

Renata duduk di samping Dirga dan memberikan roti kecil itu ke tangan suaminya. "Makan ini dulu, sayang. Mau disuapi?"

"Mau," Dirga mengangguk lagi. Sikapnya menjadi sangat manja.

Dirga ingat sekarang, bagaimana kesepiannya dia dulu. Tidak ada mainan atau makanan yang tidak bisa dia dapatkan. Dirga nyaris tidak pernah menangis karena apa yang ingin dia miliki selalu bisa dia beli.

Tapi hari - hari Dirga diisi oleh pengasuh, pelayan, dan sopir pribadinya, jarang sekali menghabiskan waktu bersama Arga dan Veronica.

Kesibukan sepertinya bukan satu - satunya alasan. Dari kenangan yang beberapa hari ini muncul dalam ingatan Dirga, akhirnya dia tahu bahwa sedari awal Arga tidak pernah mencintai Veronica.

Lalu Veronica berubah. Dirga ingat sebelum masa sekolah dasar, ibunya itu adalah sosok wanita yang murah senyum dan menyayanginya. Konflik dan pertengkaran yang terus berulang dalam pernikahan telah membuat Veronica berubah menjadi sosok yang tidak acuh pada putranya sendiri.

Mungkin karena beban mental Veronica yang berat dan amarahnya kepada Arga. Saat ini, Dirga dewasa mulai berpikir bahwa ayahnya mungkin punya wanita lain sehingga ibunya semakin stress.

Puncaknya, Veronica menjadi hilang akal hingga melecehkan putranya sendiri. Sesuatu yang berdampak begitu besar pada mental Dirga hingga kini.

Dirga menelan sepotong demi sepotong roti yang disuapkan oleh Renata ke mulutnya. Betapa beruntungnya dia jika dulu punya ibu yang menjaganya dan menyuapkan makanan seperti ini saat dia sakit.

Renata memandangi suaminya dengan penuh perhatian saat dia makan roti itu. Dia merasa sedih melihat Dirga dalam keadaan yang lemah, tetapi dia juga merasa bersyukur bahwa dia ada di sampingnya untuk memberikan dukungan dan perawatan.

Setelah Dirga selesai makan, Renata memberikan obat penurun panas kepadanya. Dia membantu Dirga untuk meminum obat dengan lembut, memastikan bahwa Dirga tidak tersedak.

"Udah, kamu tidur lagi aja," kata Renata sambil mengelus rambut Dirga dengan lembut. "Aku nggak akan ke mana - mana."

Dirga menurut. Dia membaringkan dirinya lagi. Belum lama Dirga berbaring dan memejamkan matanya, butiran air mata menetes ke pipi dan membasahi bantalnya.

Renata mengusap air mata itu dalam diam, tanpa bertanya apapun.

"Orang yang melecehkanku adalah mamaku sendiri. Mama kandungku," ujar Dirga, masih dengan mata terpejam.

Ruangan yang tadinya sudah hening ini terasa semakin sunyi. Tapi berkebalikan dengan keheningan kamarnya, di dalam dada Renata justru ada gemuruh yang luar biasa, seperti petir yang menyambar - nyambar.

Rasanya Renata tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hatinya terkejut dan hancur mengetahui bahwa orang yang melecehkan Dirga adalah ibu kandung Dirga sendiri.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang