Bab 120

107 14 0
                                    

"Pak, Pak Ryan? Pak Ryan!" Sang supervisor menepuk pundak Ryan yang bengong sampai dia tidak merespon panggilan setelah sekian kali.

"Eh, iya, maaf," Ryan akhirnya mengalihkan tatapannya dari sosok Tari. Pria itu sengaja melonggarkan ikatan dasinya seolah baru saja mengalami kesulitan nafas. "Saya Ryan, Head of Department. Saya mengucapkan selamat datang kepada kalian semua ..."

Ryan memberi sambutan singkat kepada para anak magang itu kurang lebih selama dua menit. Tari nyaris tidak bisa menyembunyikan keterpanaannya karena sesuai kata Aditya, pemilik suara itu memang Ryan.

"Mirip banget sama suara Nathan," gumam Tari dalam hatinya.

Tari mengerjap dan menggelengkan kepalanya untuk menyembunyikan ekspresinya. Ingin rasanya terus memandang sosok pria yang sedang bicara di depan itu. Tapi, dia ingat apa yang sudah Renata ajarkan padanya.

"Jangan sampai terlihat kalau kamu naksir berat sama dia. Jangan terpana dan jangan memberinya tatapan memuja atau semacamnya. Beberapa cowok yang udah sering jadi rebutan para cewek kayak Dirga biasanya muak sama cewek-cewek yang kayak gitu. Kamu harus mempertahankan sikap sok polos dan pura-pura nggak kenal sama dia. Tapi kasih kode dikit-dikit kalau kamu familiar sama suaranya."

Itulah ucapan Renata yang masih diingat dengan sangat baik oleh Tari. Jadi, sebisa mungkin Tari bersikap normal.

Ryan, di saat yang sama juga sedang menyembunyikan keterkejutannya. Usai memberi sambutan yang singkat tadi, dia kembali ke ruangannya. Namun, bukannya kembali kerja, pria itu malah mondar-mandir memikirkan mengapa Tari bisa secara kebetulan magang di departemennya.

"Nasib ... nasib ...," rutuknya. "Di antara ratusan perusahaan yang ada di Jakarta dan puluhan departemen di perusahaan ini, bisa-bisanya bocil ajaib itu magang di PERUSAHAAN INI DAN DEPARTEMEN INI! Ngenalin suara gue nggak ya tuh si Taro Net?"

Ryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan diam-diam mengintip dari jendela ruangannya. Dia mengarahkan pandangannya kepada sekelompok anak magang yang sudah mulai mendapatkan tugas random, lebih tepatnya ke sosok Tari yang sedang bicara dengan salah satu staff junior.

"Ngapain dia ngobrol sama Priska? Jangan-jangan dia kenal sama Priska. Jangan-jangan selama ini Priska mata-mata. Berkas apaan tuh? Itu berkas kerjaan apa jangan-jangan semacam surat buat komunikasi rahasia? ANJIR GUE PARNO!"

Ryan sadar bahwa ketakutannya tidak berdasar, tapi dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk terus mengintip.

"Ya udah nih fotokopikan ya. Yang ini satu kali trus yang satu bendel ini dua kali," ucap Priska kepada Tari.

Ryan masih mengintip, dia tidak bisa mendengar ucapan Priska tapi dia bisa menebak jika Priska menyuruh Tari untuk membuat salinan berkas itu.

"Eh, Tari, sekalian dong fotokopiin ini juga," Seorang staff lain menyodorkan setumpuk kertas kepada Tari.

"Ini juga Tari, makasih ya," Tari menerima setumpuk kertas lagi.

Tari mengangguk dengan ceria menerima tugas pertamanya. Dia pun berjalan ke mesin fotokopi terdekat namun setelah mengeluarkan satu lembar salinan dokumen, mesin itu mendadak berhenti dan mati. Tari mencoba menyalakannya lagi tapi hal yang sama terulang kembali sampai dia terlihat bingung sambil menggaruk leher belakangnya.

"Bego! Pakai mesin fotokopi aja nggak bisa!" gumam Ryan dari dalam ruangannya, masih setia mengintip aktifitas Tari seperti seorang penguntit.

"Eh, Dik, mesin itu emang udah error sejak dua hari yang lalu," ucap seorang staff pria yang tak jauh dari posisi Tari berada. "Cul, lo udah lapor belom soal nih mesin?" tanya pria itu kepada temannya.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang