Bab 88

142 15 0
                                    

Sherly meninggal karena pendarahan berat pasca persalinan akibat infeksi rahim. Ia meninggalkan seorang putri kecil yang lucu. Sherly sempat berpesan kepada Sheryl, saudari kembarnya, untuk memberi nama putrinya Sherina. Pesan itu menjadi kenangan terakhir yang Sherly tinggalkan untuk keluarga Mahendra.

Suasana duka menyelimuti keluarga Mahendra. Fandy dan Sheryl duduk di kursi tunggu yang ada di ujung koridor rumah sakit dengan wajah yang pucat dan mata yang berkaca-kaca. Mereka tidak bisa menahan tangisnya.

Bagi Sheryl, Sherly adalah kakak yang paling dekat, dan kehilangannya begitu menyakitkan bagi dirinya. Dia merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri. Mereka selalu bersama sejak lahir, dan sekarang Sheryl harus menghadapi kenyataan bahwa ia akan hidup tanpa saudari kembarnya. Pikiran itu membuatnya merasa sendirian dan terluka.

Danar terpaku di tempatnya untuk sesaat sebelum air mata juga membanjiri pipinya. Dia juga menyayangi si kembar. Pada dasarnya dia menyayangi semua cucunya. Hanya saja, ada saja yang membuat hubungan mereka tidak terlalu dekat. Padahal, si kembar adalah yang paling tidak terobsesi pada warisan atau semacamnya. Mereka hanya ingin bersenang - senang dan haus perhatian orang tua.

Saat Sherly hamil, Danar sempat memarahinya habis - habisan setelah kesehatan Sherly membaik. Itu membuat cucu dan kakek itu sempat tidak saling tegur sapa selama dua bulan. Namun, kala itu Danar membuang harga dirinya dengan meminta maaf lebih dulu kepada Sherly dan hubungan mereka pun membaik.

Tapi apa ini? Sherly meninggal? Seolah belum cukup hukuman untuk anak nakal itu padahal dia sudah menyesal dan menjadi baik di akhir hidupnya.

"Sherly belum ngerasain bahagia," ucap Sheryl. "Dia selalu iri sama Kak Dirga dan Kak Renata, kesepian selama kehamilannya yang berat dan juga sering jadi bahan gunjingan temen - temen. Harusnya kelahiran bayinya bisa jadi kebahagian buat dia. Tapi malah Tuhan dengan kejam merenggut nyawanya."

Renata memeluk Sheryl dengan erat. Beberapa bulan terakhir, dua adik sepupu Dirga itu sudah seperti adik kandung baginya. Kepergian Sherly yang tiba - tiba juga merupakan pukulan berat baginya.

"Ini sudah takdir, Ryl. Jangan mengutuk keadaan. Kita lepas kepergian Sherly dengan keikhlasan. Dia udah jadi baik selama ini, Tuhan pasti sayang sama Sherly," Renata terus menghibur sembari mengusap lembut punggung Sheryl.

"Keponakanku... kasihan keponakanku, Kak Renata," Sheryl meraung. "Dia udah nggak punya papa. Sekarang malah nggak punya mama juga."

"Sstt... kata siapa? Kamu mama kecilnya. Aku juga mamanya kok. Dirga pun papanya. Kita akan merawat dan besarkan dia sama - sama," ujar Renata.

"Ya, Ryl, Kak Rena bener. Kita semua mama papanya si kecil," Dirga ikut mengusap pundak adik sepupunya, membenarkan ucapan istrinya.

Setelah waktu yang cukup lama terpuruk dalam duka, beberapa menit kemudian, sebagian dari mereka bangkit untuk mengurus jenazah Sherly. Sedangkan Renata dan Sheryl menjemput putri kecil Sherly di ruang bayi.

"Cantiknya... siapa namanya?" tanya Renata pada Sheryl.

"Sebelum persalinan, aku dan Sherly sepakat menamainya Sherina," jawab Sheryl.

"Cantik. Hai Sherina... ikut mama Rena ya...," Renata membawa Sherina pulang, bergantian gendong dengan Sheryl karena Satya dan Ares pun ingin digendong mamanya.

Ada percampuran unik antara suasana duka dan haru di rumah keluarga Mahendra. Ada kematian yang menohok relung hati tapi juga ada kelahiran yang telah mereka harapkan selama puluhan pekan terakhir.

Pemakaman Sherly pun dihadiri banyak tamu termasuk teman - teman yang sempat menggunjingnya.

Dan sejak kehadiran tiga malaikat mungil itu, rumah keluarga Mahendra diwarnai dengan tangis bayi siang dan malam.

Renata yang tadinya cuti hamil diminta resign oleh Dirga. Putra mereka sendiri kembar sedangkan Sherina juga sangat nyaman bersama Renata.

Itu karena mama kecilnya masih sekolah. Opanya kerja dari pagi sampai sore, sementara omanya dipenjara. Jadi Renata lah yang paling banyak mengurusnya. Sekarang Renata dibantu oleh tiga pengasuh untuk merawat dan mengawasi tiga bayi sekaligus.

"Untung nikahnya sama horang kaya, ya Tuhan," ucap Renata sambil merehatkan punggungnya yang terasa nyaris patah karena mengurus tiga bayi. "Kalau nggak ada bantuan baby sitter, habis sudah aku."

Untungnya lagi, Dirga yang punya trauma kurang perhatian dan kasih sayang orang tua sekarang bisa menjadi ayah yang 'berguna'. Dia ikut bangun saat tengah malam tidak peduli walaupun dia pulang lembur. Renata sudah memintanya tidur lagi karena mungkin dia lelah lembur, tapi Dirga bersikeras bangun walaupun berakhir tersandung kaki keranjang bayi akibat berjalan dalam keadaan mengantuk.

"Udah kubilang kamu tidur aja. Tiga nanny-ku bisa bantuin aku kok," ujar Renata sambil mengusap kaki Dirga yang bengkak.

Dirga menggeleng. "Aku mau bonding sama tiga anakku."

Renata tersenyum, sangat terharu Dirga menyebut tiga bukan dua. Ya, Sherina sudah seperti adiknya Satya dan Ares di keluarga mereka.

"Aku lelah kerja dari pagi. Tapi kan kamu juga lelah ngurus mereka bertiga dari pagi. Walaupun kamu di sini dibantuin tiga baby sitter, di kantor aku juga dibantu satu asisten dan satu sekretaris. Kalau aku tidur saat kamu begadang, itu nggak adil."

"Oke. Oke. Tapi lain kali jangan keburu jalan kalau belum 100% bangun, ya?" Renata membantu Dirga berdiri. Lalu mereka kembali mengurus bayi - bayi itu.

Dalam beberapa minggu, Dirga sudah pintar mengganti popok dan memandikan. Walaupun kadang hasil kerja Dirga sedikit celemotan saat menceboki anaknya yang buang air besar, tapi Renata tidak memberi teguran atau kritikannya. Dia membiarkan Dirga berproses karena selama ini pun Dirga sudah bertindak selayaknya suami idaman.

Mental Dirga sangat stabil semenjak semua kepribadiannya terintegrasi. Perubahannya menjadi alter lain tidak sesering dulu. Hingga putra mereka berusia hampir tiga bulan, Satriya dan Daniel belum muncul sama sekali. Jadi Satriya adalah satu - satunya yang belum tahu anaknya sudah lahir.

Tapi orang bilang, hidup itu seperti naik roller coaster. Ada saatnya kereta berjalan naik dengan lambat sampai penumpangnya mengantuk. Angin sepoi akibat gerakan pelan itu membuat para penumpang terbuai, seolah segalanya baik - baik saja. Sampai akhirnya semua orang disadarkan bahwa setelah mereka di puncak lekukan, mereka akan melaju dengan kecepatan tinggi ke bawah, melesat bahkan berputar sampai kepala di bawah.

Begitulah hidup berjalan bagi Dirga. Di tengah masa tenangnya, ada saja hal yang membuatnya melesat di turunan dengan kencang.

"Ketua kelompok kriminal sekaligus pengedar narkoba kelas kakap yang memiliki koneksi dengan mafia di Italia, Vincent Lee Pamungkas, hari ini diputuskan akan dijatuhi hukuman mati. Tanggal eksekusi hukuman mati tersebut masih belum diumumkan kepada publik," lapor seorang reporter pada salah satu acara berita.

Dirga menghela nafas lalu mematikan televisinya. Sudah dia duga, kejahatan Vincent sangat parah. Dia menculik para wanita, menjadi pengedar narkoba dan bekerja sama dengan mafia terkenal yang jadi musuh polisi hampir di semua negara. Pantas saja di hukum mati.

Namun beberapa hari kemudian, Putra membawa berita yang cukup tidak terduga.

"Kuasa hukum Vincent menyampaikan permintaan terakhir Vincent untuk bertemu dengan Anda, Tuan," lapor Putra.

"Bertemu dengan saya? Untuk apa?" Dirga menghentikan gerakan bolpoinnya yang baru saja akan menandatangi persetujuan sebuah laporan.

"Tidak dijelaskan, Tuan. Mereka hanya mengatakan bahwa itu permintaan terakhir Vincent," jawab Putra.

"Hm... begitu. Nggak perlu dengan Renata, kan?" tanya Dirga lagi.

Putra menggeleng. "Mereka tidak menyebut nama nyonya Renata sama sekali, Tuan. Hanya Anda."

Dirga mengangguk lega. Malas saja mempertemukan Renata dengan pria yang pernah mengincarnya. Tapi jika hanya dengan dirinya, rasanya tidak masalah. Dirga pun penasaran apa yang Vincent mau.

"Oke. Kapan? Katakan saya bersedia," ucapnya.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang