Bab 81

143 16 0
                                    

"Satya, ini air putih dingin," Ares melihat bayangan Renata yang bicara kepadanya sambil cemberut. "Gelasnya heboh banget! Ada irisan lemon nancep di sini. Kukira ini ada rasanya. Ternyata cuma air mineral?"

"Ya... habisnya ibu hamil nggak boleh minum alkohol dan soda kan? Nggak boleh kebanyakan kafein dan gula juga. Trus tadi kamu udah minum susu hamil. Jadi... air putih yang paling cocok," Ares merasa dirinya menjawab Renata dengan kalimat ini.

Lalu Ares juga mendapat ingatan saat dirinya bangun pagi - pagi dan memetik setangkai anggrek ungu dari sebuah pot besar di balkon kamarnya.

Ares melangkah kembali ke dalam kamar, mengambil secarik kertas dan pena lalu menulis :

Walaupun bukan mawar merah, tapi anggrek ungu ini adalah perwujudan cintaku ke kamu. 

Selamat pagi cantik.

Satya - suamimu yang paling dewasa dibanding yang lain. 

Dengan perlahan, agar tidak mengganggu tidur Renata, Ares menyelipkan bunga beserta suratnya di sela jemari Renata yang masih pulas.

Usai mengenakan pakaian kerja, Ares turun ke bawah untuk menemui pelayan dapur. "Mbak, bikinin susu hamilnya Renata sama roti bakar isi selai kacang ya. Susunya yang panas. Minumnya masih 15 menitan lagi soalnya. Anter ke atas kalau udah," pintanya.

"Siap, Tuan."

Ares melangkah kembali ke kamar. Berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menulis satu surat lagi.

Makan sehat yang banyak ya, bumil. Maaf aku menghilang pagi - pagi. Aku harus ke kantor lebih awal sama Putra karena banyak banget kerjaan Dirga yang belum kelar karena dia libur selama sakit beberapa hari ke belakang. 

Kita ketemu di kantor ya, sekretaris cantikku.

Ares tersenyum malu - malu. Entah malu pada siapa. Padahal tidak ada yang melihat kelakuannya. Saat dia masih terdiam sambil senyum sendiri menatap wajah pulas istrinya, pintu kamar diketuk.

Itu adalah pelayan dapur yang datang untuk mengantar pesanannya tadi.

"Makasih, Mbak," ucap Ares.

Lalu Ares meletakkan nampan berisi susu dan roti itu ke atas nakas. Dia juga menyelipkan secarik kertas berisi suratnya tadi di bawah gelas susu agar tidak terbang terbawa angin.

Ares mengatur alarm Renata ke 15 menit kemudian. Sebelum pergi, Ares mengecup singkat kening Renata.

"Sialan, itu kan kerjaan Satya. Kenapa aku yang dapat memorinya? Sial, sial, sial, nggak bisa begini" Ares mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Sabar, tenang Ares. Nggak papa kok. Jangan terlalu keras menolak. Biarin aja memori Satya masuk. Lagian kalian juga nggak fusi kan sampai sekarang?" Renata mencoba menenangkan satu suaminya yang pemarah ini.

Bukannya mereda, kemarahan Ares malah semakin menjadi. Dia mulai menjambak rambutnya sendiri karena kepalanya terasa nyeri.

"Jangan, Ares. Nanti kepala kamu makin sakit. Ayo, kita masuk ke dalam supaya kamu bisa lebih tenang," Renata menuntun Ares, membawanya ke ruang tengah dan mendudukkannya di sofa.

Renata menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Ares.

Makin banyak memori yang masuk, Ares semakin tidak berdaya menahannya. Dia juga mendapat ingatan saat Renata bicara pada Satya soal trauma masa lalu Dirga.

Ares yang baru muncul pun langsung tahu Carla dipenjara, padahal belum ada pembicaraan soal Carla dengan Renata. Tapi Ares mendapat memori Satya saat menyaksikan langsung kejadian itu.

Setelah agak tenang, gelombang rasa sakit di kepala Ares mereda. Nafasnya pun kini mulai teratur.

"Gimana? Masih sakit?"

Ares menggeleng. "Nggak terlalu."

"Syukurlah."

"Jadi... Dirga udah tahu soal masa lalu dengan mama dan tantenya?" Ares tiba - tiba menatap Renata dengan matanya yang mulai berembun.

"Kamu dapat memori Satya?" Renata tidak lagi merasa heran kenapa Ares langsung tahu. Karena dia sudah bercerita kepada Satya dan kemungkinan besar ada pertukaran memori antara Satya dan Ares.

"Ya."

"It's okay. Kalian akan baik - baik aja," Renata menggenggam tangan Ares dengan lembut. "Dirga juga baik - baik aja."

PRANG!!

Ares melempar vas bunga yang terletak di meja ruang tengah sampah terpental dan pecah di sudut ruangan.

BRAK!

PRANG!!

Renata syok melihat Ares juga melempar meja kaca yang ada di sana hingga meja itu terbalik dan juga menjadi kepingan kaca tak berbentuk.

"Ares! Tenang, tahan emosi kamu!"

"Gimana bisa dia baik - baik aja? Harusnya dia nggak baik - baik aja!" Mata Ares memerah. Jika tidak ada wajah penuh amarah itu, pasti siapa saja mengira Ares tidak tidur selama beberapa malam karena penampilan matanya itu.

Renata tahu, dia tidak bisa mengatasi amarah Ares dengan kemarahan juga. Ares akan semakin menggila jika diajak bertengkar. Jadi Renata hanya memeluk suaminya itu dengan erat.

"Dirga awalnya sangat hancur tapi kami berusaha bangkit bersama. Semuanya baik - baik aja sekarang. Kamu mungkin nggak perlu menghilang hanya karena itu," Renata bisa mendengar dengan jelas degup jantung Ares yang sangat cepat.

Dia ingin menenangkan suaminya yang satu ini dari amarahnya yang menggebu - gebu.

Ares merasa keberadaannya terancam. Jika Dirga mampu menanggung semua sendiri apa artinya dia akan lenyap? Belum lagi memori Satya yang masuk ke ingatannya tanpa ijin tadi.

"Aku tahu kok apa yang kamu takutkan. Jangan takut, Ares. Ada aku," Renata juga meraih tangan Ares dan meletakkan di perutnya seperti biasa. Ini selalu berhasil menenangkan dan menjinakkan suaminya yang mana saja sejauh ini. "Anak kamu juga ada di sini."

Yang tidak pernah Renata sangka pun akhirnya terjadi. Ares meneteskan air matanya. Ini bukan Dirga, Satya atau Daniel, tapi ini Ares yang menangis.

"Soal papanya, apa Dirga juga sudah tahu?" tanya Ares lagi setelah dia cukup berhasil mengatur emosinya. Air mata di pipinya pun sudah dia seka.

"Soal papa Arga?"

Ares mengangguk.

"Soal apa? Soal kecelakaan itu? Atau soal rencana papa Arga menikah sama adiknya mama Vero?" Renata belum mengerti apa yang Ares maksud.

Tapi Ares malah menggeleng menandakan bukan itu yang dia maksud.

"Tunggu, ada lagi yang kamu sembunyiin?" tebak Renata. Sekarang dia tegang, ada fakta apa lagi?

Namun, Ares hanya memalingkan muka dan diam. Dia salah langkah, ternyata Dirga belum dapat memorinya soal itu. Harusnya dia tidak perlu bertanya.

"Ares? Nggak papa, kita terbuka aja. Semua akan baik - baik aja, sayang," Renata mengusap lembut satu pipi Ares, mencoba menyamankannya, meyakinkannya bahwa semua akan baik - baik aja.

"Kalau aku menunjukkannya ke kamu, kamu nggak akan benci aku? Apa aku akan menghilang?" Ada sedikit getar dalam suara Ares. Renata jadi merasa sangat iba.

Renata tersenyum hangat kepada suaminya itu. "Nggak. Aku nggak akan benci kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu boleh bilang apapun dengan bebas tanpa takut aku menjauh. Beneran. Dan aku juga yakin kamu nggak akan serta merta menghilang hanya karena kamu bicara jujur," Renata ingat betul apa kata dokter Teresa. Jika alter menolak keras, fusi akan menjadi lebih sulit. Tapi itu bukan masalah besar.

"Oke. Akan kutunjukkan. Tapi aku nggak yakin bisa menemukannya karena itu barang lama. Setahuku dulu barang - barang lama milik Dirga dimasukkan ke sebuah kotak besar. Tapi aku nggak tahu kotak itu di mana. Mungkin nggak ya ada di gudang besar?" Ares merujuk pada kotak berbentuk peti harta karun itu.

"Eh? Ada! Ada kotak besar bentuk peti harta karun di gudang. Aku pernah buka, isinya emang barang - barang punya Dirga dulu," jawab Renata

"Ayo ke sana kalau gitu. Kita cari benda yang mau aku tunjukkan di kotak itu," ajak Ares.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang