Bab 98

120 18 0
                                    

"Nathan? Apa itu alter barunya?" Daniel sontak menghampiri Renata dengan wajah tegang.

"Aku nggak tahu. Kita ke sana sekarang aja buat memastikan. Ayo, ganti baju dulu!" Renata menyeret Daniel.

Mereka berlari masuk ke dalam rumah lalu cepat-cepat berganti pakaian. Karena tergesa dan keadaannya darurat, Daniel tidak mandi walaupun dia baru saja bermain air hujan bersama anak-anak di luar.

Daniel mengemudi mobil, Renata duduk di sampingnya, sedangkan tiga baby sitter beserta tiga bayi duduk di belakang.

"Sial, aku pusing," ujar Daniel di tengah perjalanan mereka.

"Pusing? Minggir aja kalau gitu. Biar aku yang nyetir," pinta Renata.

Daniel mengangguk setuju. Dia tidak ingin membahayakan semua orang dengan mengemudikan mobil saat pandangannya berkunang-kunang dan kepalanya berdenyut nyeri.

Setelah mobil berhenti, Daniel dan Renata bertukar posisi. Daniel menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata, berharap posisi ini bisa mengurangi rasa sakitnya.

"Kamu kenapa? Mau switch?" tanya Renata.

"Mungkin," jawab Daniel singkat.

Detik berikutnya, Daniel merasa dirinya terlelap. Namun saat pria di samping Renata itu membuka mata, dia bukan lagi Daniel.

"Udah baikan? Habis ini kita sampai. Untung banget jalan nggak terlalu macet," ucap Renata.

"Kita dari mana ini?" tanya Dirga sembari menoleh ke belakang.

Dia melihat tiga anaknya bersama baby sitter di belakang. Di luar hujan. Namun, Renata terlihat sedikit panik.

"Kamu–" Renata berpikir apakah sekarang suaminya itu Dirga atau Satriya.

"Dirga," jawab Dirga langsung tahu pertanyaan tak terucap Renata.

"Dirga, aku dan Daniel tadinya main ke rumah ayah sama tiga bocil. Lalu aku dapat telepon dari pelayan di rumah kalau ada bapak-bapak datang nyari cowok bernama Nathan. Bapak itu katanya marah-marah. Dan foto Nathan yang diperlihatkan ke pelayan adalah wajah kamu," Renata menerangkan dengan cepat.

Mereka sudah memasuki gerbang perumahan elit tempat rumah keluarga Mahendra berada. Kurang dari 5 menit lagi, mereka akan tiba.

"Astaga, apa itu ada hubungannya sama bajuku yang tiba-tiba berdarah?" Dirga terlihat cemas.

"Nggak tahu. Bisa jadi," jawab Renata.

Memasuki gerbang rumah mereka, Renata menggenggam erat jemari Dirga. "It's okay. Kita hadapi sama-sama."

Senyum dan sentuhan Renata itu cukup membuat kecemasan Dirga sedikit berkurang. Setidaknya dia percaya Renata akan tetap di sisinya.

"Makasih, Rena," Dirga mengecup punggung tangan Renata.

Dengan satu tarikan nafas panjang, Dirga turun dari mobil, melangkah perlahan tapi mantap menuju ruang tamu.

"Saya dengar ada tamu?" tanya Dirga pada beberapa pelayan yang berkumpul di ruang tamu.

Ada lima pelayan yang terdiri dari petugas kebersihan, tim dapur bahkan tim kebun yang menanti Dirga dengan wajah tegang di ruang tamu. Ada juga dua petugas keamanan di samping kanan dan kiri tamu itu. Mereka tetap diam di sana sampai tuan mereka datang karena pria tua yang menjadi tamu itu kesulitan menahan amarahnya.

Para pelayan membuka jalan bagi Dirga dan Renata untuk menemui pria itu. Dirga melihat ada pecahan beberapa benda kaca yang tadinya adalah hiasan di ruang tamu. Serpihan kaca itu dikumpulkan di satu titik tapi belum dibuang.

"Nah! Kamu orangnya ternyata! Benar, kan? Ternyata kamu adalah Nathan. Wajah kalian sama," pria itu berdiri, menatap Dirga penuh kemarahan.

"Anda siapa?" Dirga bertanya dengan tenang.

"Saya bapaknya Tari," jawab pria itu.

"Saya nggak kenal Tari. Siapa Tari?" Dirga masih tenang.

"Jangan bohong kamu! Tari, anak SMA yang kamu ajak kenalan lewat aplikasi kencan online. Pria dewasa kayak kamu pasti nggak normal makanya ngajak anak kecil pacaran. Coba kalau saya tahu yang sering teleponan sama Tari itu setua kamu, pasti saya akan kasih tahu dia kalau kamu orang nggak bener! Saya kira pacar Tari anak SMA juga. Kamu harus tanggung jawab! Kamu udah bikin anak saya nggak bisa bangun berhari-hari di rumah sakit karena luka-luka di tubuhnya yang sangat parah!" Pria itu terus meracau dan memarahi Dirga.

Ingin rasanya dia memukul dan menyerang Dirga tapi dua petugas keamanan itu sudah nyaris mematahkan tulangnya tadi saat mencegahnya merusak barang-barang.

"Kapan kejadiannya? Anda punya bukti apa kalau saya yang berhubungan dengan anak Anda? Saya nggak merasa melakukannya," jawab Dirga. "Lagipula saya udah punya anak dan istri. Saya nggak tertarik sama anak kecil."

"Kejadiannya 29 Februari lalu!" jawab Pria itu.

Deg.

jantung Dirga serasa berhenti. Itu tanggal kejadian toko mainan dan lapangan voli itu.

"Bukti? Kamu mau bukti? Saya punya bukti!" Pria itu mengeluarkan ponselnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka sebuah aplikasi kencan online.

"Ini hape Tari," ucap pria itu. Lalu dia menunjukkan layarnya kepada Dirga. "Lihat! Ini akun yang terhubung dan berkomunikasi dengan Tari selama ini. Namanya Nathanael Mahendra, panggilannya Nathan. Alamatnya di sini. Dan fotonya adalah foto kamu."

Dirga meraih ponsel itu, menggulir layarnya, membuka detail profil dan foto-foto di sana. Semua adalah wajahnya dengan pose dan latar belakang yang tidak dia kenal. Dirga tidak pernah merasa berfoto seperti itu dan di tempat tersebut, tapi itu benar-benar wajahnya.

"Kamu mengajak dia ketemuan lalu kamu menghajarnya sampai babak belur. Apa kamu sakit jiwa? Atau jangan-jangan, kamu nekat melakukannya karena anak saya menolak tidur sama kamu?" Tangan pria itu terkepal, rahangnya mengeras, amarahnya naik lagi mengingat keadaan putrinya yang terbaring di rumah sakit dalam keadaan mengenaskan.

"Tenang, Pak," Kali ini Renata yang bicara. Renata melangkah maju, berdiri di antara Dirga dan pria itu. "Tolong, jelaskan dengan rinci bagaimana kronologinya! Apa Tari sadar? Apa dia mengatakan bahwa Nathan lah yang menganiayanya?"

"Ya! Tari dibawa ke rumah sakit oleh seseorang yang menemukan dia tergeletak di jalan dalam keadaan tubuh penuh luka. Dia menerima lima tikaman di perutnya. Satu tulang lengannya juga patah, wajahnya membengkak. Saya tanya dia kenapa saat dokter berhasil menyelamatkan nyawanya. Dia sempat koma selama 6 hari. Dia bilang Nathan menghajarnya! Pria ini!" Pria itu menunjuk wajah Dirga.

Wajah Dirga memucat. Dia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Jika sudah begini, apa benar dia punya alter yang sekejam itu? Ares saja tidak akan menganiaya wanita tanpa alasan seperti ini.

"Saya tahu kalian orang kaya," Pria itu mulai kesulitan mengatur nafasnya. "Tapi saya akan cari keadilan untuk putri saya. Saya akan bawa kasus ini ke jalur hukum!"

"Pak, saya mohon, biarkan kami menyelesaikannya dulu. Suami saya nggak merasa melakukannya. Dia bukan orang yang kejam seperti itu. Saya yakin ada kesalahan. Ijinkan saya menemui tari besok. Kami juga akan menanggung semua biaya pengobatan Tari. Beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa suami saya nggak bersalah," pinta Renata.

"Maksud kamu anak saya bohong?" Pria itu terlihat tidak senang.

"Bukan. Mungkin salah paham. Tari nggak akan lihat wajah suami saya besok karena mungkin itu akan membuatnya histeris. Saya yang akan bicara dengannya. Tolong, Pak, jangan keburu membawanya ke jalur hukum. Kami tidak akan kabur. Rumah kami di sini, kami nggak akan ke mana-mana," Renata terus memohon dan menjelaskan, sedangkan Dirga yang syok hanya bisa diam.

"Baik. Saya tunggu kalian besok di rumah sakit," Pria itu setuju.

Renata lega. Setidaknya mereka masih punya kesempatan.

"Tolong catat nama rumah sakit dan nama ruang perawatannya di sini," Renata mengambil sebuah pena dan memo di laci ruang tamu lalu menyodorkannya kepada pria itu.

Pria itu lalu menulis dengan lengkap nama rumah sakit beserta nama ruangan tempat putrinya dirawat. Dia pun menyerahkan kertas itu kepada Renata dan pergi dengan harapan bahwa dirinya tidak salah langkah dengan memberi kesempatan kepada Renata.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang