Bab 72

175 13 0
                                    

"Maksud kamu apa, Dirga? Pembunuh apa? Jangan ngaco ah kalau ngomong," Renata tidak mengira dia akan mendengar pengakuan semacam ini.

Fakta sebelum mengenai siapa pelaku pelecehan yang menimpa Dirga saja sudah seperti bom bagi Renata.

Apalagi ini...

Detik demi detik berlalu, Renata terus saja memperhatikan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. Walaupun terkadang banyak ucapan yang kurang jelas karena disertai tangisan, Renata mampu menangkap semua penjelasan Dirga.

"Kita ke dokter Teresa sekarang, jangan ditunda lagi. Ayo, Dirga!" Renata menuntun suaminya keluar dari arena bermain itu dan segera menuju lokasi praktek sang dokter.

Karena mereka datang tanpa janji dan bukan jadwal rutin, Renata dan Dirga sempat menunggu lama di ruang tunggu karena masih ada pasien lain.

Baru setelah hampir 1,5 jam menunggu, mereka bisa menemui sang dokter. Dirga menceritakan semua yang dia ingat dengan susah payah. Bukan karena dia kembali melupakannya, tapi setiap kali mencapai kisah tertentu, Dirga mengalami tekanan pada mentalnya. Bahkan, fisiknya ikut terpengaruh.

Namun Renata yang sudah mendengar sebelumnya bisa membantu Dirga menjelaskan dengan lebih baik kepada dokter Teresa.

"Dirga mendapatkan memori terbentuknya Ares dan Satya. Apa itu tanda mereka bisa mengalami fusi, Dok?" tanya Renata.

"Bisa ya, bisa tidak. Kerjasama alter berpengaruh besar terhadap terjadinya fusi, Renata. Jika alter menolak dengan keras, hal itu bisa menghambat terjadinya fusi. Dari cerita kamu, sepertinya baik Satya maupun Ares sama - sama tidak menginginkan fusi terjadi. Coba kamu perhatikan, Andika dan Bruno terlihat ikhlas sebelum akhirnya Dirga mendapatkan memori mereka secara penuh, ya, kan?" jawab sang dokter.

"Aaah... iya benar juga, Dok," Renata mengangguk paham.

"Tapi seperti yang pernah saya bilang sebelumnya, jangan terfokus pada fusi. Fokus pada pengendalian emosi dan penanganan trauma serta pengintegrasian identitas. Jika Ares dan Daniel mau bekerja sama menjalani aktifitas sehari - hari kalian dan saling berbagi informasi lewat catatan sebagaimana Satya, itu sudah cukup bagus. Dan sekarang, karena Dirga sudah mengingat traumanya, kita akan melakukan terapi agar trauma itu tidak lagi mengganggu kehidupan Dirga," lanjut dokter Teresa sembari membenarkan posisi kacamatanya.

Wanita berusia akhir 40an itu beralih menatap Dirga yang sedari tadi hanya diam menyimak saat Renata aktif bertanya.

"Apa yang kamu rasakan sekarang, Dirga?" tanyanya.

"Saya merasa memori buruk itu terus mengisi otak saya, Dok. Padahal saya sudah berusaha melupakannya. Dan setiap kali memori itu membayangi saya, saya merasa sangat cemas, seolah takut itu terulang. Padahal saya tahu itu sudah lama berlalu. Saya juga mual, pusing, sakit perut secara tiba - tiba. Apalagi... saat saya ingat bagaimana Ares mendorong mama saya dari rooftop, saya diliputi rasa bersalah, takut tapi terkadang juga puas. Saya nggak mengerti sama diri saya sendiri, Dok."

Sang dokter mengangguk paham dengan apa yang dialami oleh Dirga. "Itu stress pasca trauma. Kita akan coba melakukan terapi gerakan mata. Terapi ini akan berjalan beberapa minggu. Saya akan bantu membuat kamu tidak terlalu emosional saat mengingat atau menceritakan masa lalu kamu."

Dirga mengangguk patuh. Yang dia rasakan sekarang, dia butuh pertolongan. Jadi, apapun yang dokter Teresa sarankan, akan dia jalankan.

Sang dokter memulai terapi ini dengan meminta Dirga mengingat semua memori buruknya sedetail mungkin. Saat Dirga memutar kembali memori itu dalam otaknya, dokter Teresa menggerakkan telapak tangannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dirga. Dan Dirga diminta untuk mengikuti gerakan tangan itu dengan matanya.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang