Bab 75

170 14 0
                                    

Tidak perlu berpikir dua kali, detik di mana Daniel mengucap kata 'donat', detik itu juga Renata langsung mengerti apa yang pria itu maksud.

"Donat ya? Oke," Renata menyetujui keinginan Daniel secara instan. Senyumnya sangat manis, membuat jantung Daniel semakin kejang - kejang.

Daniel ingin melompat saking senangnya. Untungnya dia masih waras untuk tidak menginjak gas dengan kuat.

"Danielo... diam - diam kamu suka juga ya? Nggak Danielo, nggak Aristoteles, nggak Dirgantoro, sama aja mereka semua. Penasaran aku kalau si Satiyo udah menyerah, gimana hasilnya. Palingan doyan juga. Ck ck ck." 

Renata bergumam dalam hatinya. Senyum iblis terukir tipis di bibirnya. Seperti biasa, mengerjai suaminya akan jadi mood booster bagi Renata. Diam - diam, Renata memesan satu lusin donat secara online lalu mengirimnya ke rumah mereka.

Renata sudah menghayal pasti nanti akan seru membuat Daniel kesal. Lalu suara lantang Daniel tiba - tiba mengagetkannya.

"Jalan yang bener, Bos! Jangan ngehalangi mobil orang!" Daniel membuka jendelanya, meneriaki seorang pengendara motor yang dia pikir menghalangi jalan.

Daniel benar - benar ingin cepat - cepat sampai rumah. Sebenarnya, pagi itu, Daniel sudah tidak sabar ingin mengakhiri keperjakaan semunya. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga kepalanya menjadi sangat sakit. Sungguh sial, dia lagi - lagi menghilang. Semoga saja tidak ada kejadian ganti alter saat dia menikmati donatnya nanti.

Tin Tin Tiiin...

"Minggir woy! Kalau lurus baris yg bener! Orang mau belok kiri jadi nggak bisa nih!" Daniel kembali memarahi pengendara motor yang berhenti terlalu ke kiri saat lampu merah. Padahal pengendara yang belok kiri bisa terus melaju tanpa berhenti, tapi Daniel kesulitan lewat karena motor itu membuat jalannya menjadi sempit.

"Daniel... jangan marah - marah terus. Tumben sih gampang emosi? Udah kayak Aristoteles aja," Renata memprotes kelakuan barbar Daniel yang terus saja memarahi pengguna jalan lain.

"Hah? Siapa Aristoteles?"

"Eh, maksudku Ares."

Daniel mengerutkan wajahnya tak setuju. "Ah, masak aku kayak dia?"

"Nggak. Tapi kalau kamu marah - marah terus lama - lama jadi kayak dia lho. Sabaar... aku akan kasih donat spesial buat kamu nanti di rumah," Renata mengedipkan satu matanya dengan genit kepada Daniel yang otaknya semakin melayang ke mana - mana.

"Oh my Gooood... merinding aku merinding nih...," Daniel mengetuk - ngetuk kemudinya dengan jari, terlihat sekali sedang gugup tapi ditahan - tahan. "Dua ronde boleh nggak?"

"Boleh dong... Makanya... jangan marah - marah terus. Kalau ngomong ke pengendara lain nggak usah bentak - bentak. Sabaaar... sampaikan dengan sopan," Renata mengusap lengan atas Daniel supaya pria itu tidak terus memaki orang di jalan.

"Gitu ya? Yang sopan?"

"Iya... sopan dan santun. Bisa kan?" Renata mengacungkan satu ibu jarinya.

"Sopan dan santun. Sopan dan santun. Sopan dan santun. Bisa bisa. Demi dua ronde. Oke bisa," Daniel mengulang kalimat itu bagaikan mantra ajaib yang bisa menambah kesaktiannya.

Namun emosi Daniel kembali diuji saat dia berhenti di lampu merah berikutnya. Lampu itu sudah berubah menjadi warna hijau. Daniel belum memajukan mobilnya karena mobil yang ada di depannya pun belum bergerak.

Tapi kendaraan yang ada di belakangnya malah terus membunyikan klakson. Daniel kesal. Dia lagi - lagi membuka jendelanya, melongokkan kepalanya ke belakang menghadap para pengendara itu.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang