Bab 109

111 14 0
                                    

Di ruang kerja, Daniel sedang terpaku pada layar tabletnya yang menampilkan sebuah folder berisi beberapa jurnal. Daniel membaca tanpa lelah jurnal-jurnal itu.

Senyum pria itu terukir secara misterius selama dia membaca jurnal tersebut. Pasalnya, lain dari hari-hari normal, jurnal yang dia baca bukan tentang managemen ataupun bisnis, melainkan tentang ilmu psikiatri.

"Saatnya menunjukkan bahwa Daniel mampu tanpa Dirga dan Satriya," gumam Daniel lirih. Suara itu hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri andaikata di ruangan ini ada orang lain sekalipun.

Tapi ruang kerjanya sangat sepi. Putra sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu. Jendela lebar ruang kerja itu menampilkan langit malam yang cerah di balik kacanya yang jernih.

Dddrrtt ... dddrrrtt ...

Suara getaran dari ponsel yang tergeletak di atas meja sedikit membuat Daniel tersentak. "Astaga! Jam berapa ini?"

Daniel sontak memeriksa jam tangannya. Matanya seketika membulat kala mendapati sekarang sudah hampir jam 10 malam.

"Renata ... aku sampai belum kasih dia kabar," Daniel mengetuk kepalanya sendiri sambil merutuk.

Cepat-cepat Daniel meraih ponselnya yang sedang menampilkan nama Renata sebagai penelepon itu.

"Istriku!" Daniel langsung menyebut kata 'istriku' saat menjawab panggilan itu. Dia sengaja melakukannya dengan harapan Renata batal murka karena dia tidak memberi kabar soal keterlambatannya.

"Maaf, aku pulang sekarang nih," ujarnya sebelum Renata menanyakan apapun.

"Daniel!"

"Bye, aku siap-siap dulu ya. Aku bawain martabak. Muach," Daniel mengakhiri pembicaraan mereka dengan menutup telepon secara sepihak.

Tangan kanannya mengelus dada sambil menghembuskan nafas panjang. "Deg-degan, dimarahin nggak ya nanti?"

Tidak ingin mendapat amukan istrinya, Daniel bergegas merapikan barangnya lalu beranjak pergi meninggalkan kantor untuk pulang ke rumah.

Seperti janjinya, Daniel mampir membeli martabak spesial untuk Renata demi meredakan amukan istrinya itu. Tapi karena Daniel teringat ucapan Renata bahwa Satriya sangat romantis, Daniel menutuskan untuk membeli bunga juga.

Renata sendiri sedang kesal kuadrat karena selain Daniel tidak memberi kabar bahwa dia akan pulang terlambat, suaminya itu seenaknya saja mematikan telepon. Untungnya, para bayi tidak rewel malam ini sehingga emosi Renata bisa lebih terkontrol.

Di sofa kamar yang dulu selalu jadi tempat tidur Dirga selama mereka masih bermusuhan, Renata duduk sambil bersedekap menatap tajam ke pintu kamar, bersiap memberi amukannya yang paling dahsyat untuk Daniel jika pria itu masuk.

Ceklek!

Pintu kamar dibuka. Renata sudah menyiapkan amunisinya, dia berdiri dan berlari kecil untuk melebarkan pintunya. Namun gerakannya tertahan saat melihat pria yang berdiri di hadapannya menutupi wajah dengan seikat bunga mawar merah yang besar.

"Daniel apa Satriya nih?" 

"Daniel?" Renata bertanya ragu-ragu.

"Ya, istriku?" Daniel mengintip lewat celah bouquet mawarnya. Senyumnya sangat lebar sampai matanya menyipit karena pipinya terangkat ke atas.

Perlahan, Daniel menyodorkan bouquet mawar itu kepada Renata yang masih tertegun. "Aku menyesal. Maafin aku ya, istriku. Aku janji nggak akan mengulangi lagi lupa ngasih kabar kayak tadi. Nih, aku bawa bunga cantik yang masih kalah cantik dibanding kamu plus martabak spesial yang masih kalah spesial dibanding kamu."

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang