Bab 115

122 14 0
                                    

Di sebuah ruangan yang sempit, seorang pria sedang duduk di hadapan seorang wanita. Pria itu menghela nafas yang cukup panjang saat wanita itu menatapnya penuh harap usai melontarkan sebuah pertanyaan.

"Udah beres," jawab pria itu.

"Kamu yakin nggak ketahuan?" tanya sang wanita.

"Ketahuan? Buktinya sejauh ini aku baik-baik aja. Kamu boleh puas sekarang karena walaupun Dirga batal jadi gila, tapi mereka betulan menuduh Reyhan. Kabar baik buat kamu, pak tua itu mengirim Reyhan ke penjara!" Sang pria sumringah saat menceritakan detail hasil kerjanya.

Wanita itu pun tertawa.Tawa itu cukup keras, tapi masih ditahan-tahan. Andai saja dia tidak khawatir akan ada yang curiga pada suara tawanya, pasti wanita itu sudah tertawa lepas sekencang-kencangnya.

"Bagus! Kalau Reyhan udah berhasil diringkus berarti sisa Dirga. Tapi ... aku sebetulnya lebih benci ke Renata. Ayo susun rencana untuk kasih pelajaran ke wanita sialan itu juga!" Pandangan wanita itu menerawang, satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring yang terlihat licik. Saat ini, pikirannya sedang sibuk mengolah kebencian yang dia miliki untuk menyusun rencana terbaik demi mengerjai Renata.

*****

Di loby klinik dokter Teresa, Dirga sedang duduk di sofa bersama Renata. Biasanya, mereka akan datang sesuai jadwal atau mendadak jika ada keadaan yang darurat. Namun kali ini, mereka datang atas permintaan dokter Teresa karena hari ini, Tari bersedia menjalani terapinya. Kini, sepasang suami istri itu diminta menunggu di depan ruangan karena Tari masih menerima penjelasan dari sang dokter.

"Tuan Dirgantara Mahendra?" panggil seorang perawat.

"Ya? Saya, suster," Dirga menghampiri sang perawat.

"Silakan masuk, Tuan," sang perawat meminta Dirga untuk masuk ke ruang konsultasi dokter Teresa.

Belum jauh langkah kaki Dirga, pria itu sempat terhenti karena Tari tiba-tiba memekik saat melihatnya.

"Nggak apa-apa Tari, dia Dirga, dia nggak jahat," ujar dokter Teresa. "Masuk, Dirga!"

Dirga mengangguk dan melangkah masuk kembali. Dia duduk di kursi yang ditunjuk oleh sang dokter.

"Apa dia yang menemui kamu malam itu sebagai Nathan?" tanya sang dokter.

"Ya, Dok," Tari mengangguk.

"Kamu tidak punya memori saat dia menyakiti kamu tapi kamu merasa sangat yakin bahwa dialah yang menyakiti kamu?" tanya sang dokter lagi.

Tari kembali mengangguk dengan yakin. "Ya, Dok."

"Baik. Jadi, Tari, Dirga adalah pasien saya. Atas ijin Dirga, saya sudah jelaskan sebelumnya kepada kamu secara singkat mengenai DID yang dia derita. Pada awalnya kami mengira Nathan adalah salah satu alter personality dari Dirga tapi dari pembicaraan kami mengenai hasil terapi waktu itu, Nathan sebenarnya tidak pernah eksis. Dirga menjadi korban penyalahgunaan hipnotis oleh seorang mantan psikiater senior. Saya curiga hal yang sama terjadi pada kamu. Karena itu, saya akan memandu kamu menggali lagi ingatanmu yang sengaja dihilangkan, membatalkan sugestinya lalu kita akan saling mencocokkan memori kamu dan Dirga supaya kita memperoleh titik terang akan kejadian yang sebenarnya. Kamu siap?"

Usai menyimak penjelasan panjang sang dokter, Tari mengangguk dengan mantap. Sekalipun tidak adanya memori itu membuatnya tidak terlalu takut atau mengalami mimpi buruk akan trauma penganiayaan, tapi tetap saja ada yang mengganjal dan mengganggu pikirannya karena memorinya seolah tidak pernah utuh.

"Oke, silahkan membuat diri kamu nyaman terlebih dahulu di sofa ini," Dokter Teresa memulai persiapan terapi seperti biasa.

Jika biasanya Dirga adalah orang yang menjalani terapi, kali ini dia hanya duduk menunggu bersama Renata dan Aditya. Tiga orang itu diam dan tenang karena tidak ingin mengganggu jalannya terapi Tari. Mereka menyaksikan bagaimana awalnya Tari mengobrol ringan bersama sang dokter lalu seketika menjadi tertidur dengan sangat nyaman bersandar di sofanya.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang