Bab 100

137 16 0
                                    

"Saya bukan Nathan," ucap Dirga kala itu.

Senyum misterius terukir di bibir tebal wanita itu. Wajahnya tenang seperti tetua yang penuh pengertian.

"Kamu Nathan," ucapnya.

"Maaf, Anda salah orang," Dirga masih menjelaskan dengan ramah bahwa dirinya bukan Nathan.

Lagi dan lagi, wanita itu tersenyum dengan hangat. Dirga melihat dengan jelas bahwa bibir wanita itu bergerak, tapi suaranya semakin mengecil hingga hilang sepenuhnya. Dirga tidak tahu wanita itu bicara apa.

Detik berikutnya, Dirga tiba-tiba sudah tengkurap di atas aspal yang sedikit basah. Dia merasa baru saja bangun dari tidur yang sangat lama. Saat Dirga berdiri, pakaiannya penuh darah. Jantungnya pun berdegup kencang, merasa ketakutan akan apa yang menimpanya. Atau lebih tepatnya, takut akan apa yang dia perbuat pada orang lain selama dia tidak ingat.

Dirga menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepi. Hanya ada seekor kucing yang berlari mengejar buruan kecilnya. Tidak ada manusia sama sekali di sekitarnya. Dengan tangan gemetar, Dirga memutuskan untuk menelepon Putra.

Dirga yang duduk di ruang konsultasi dokter Teresa mengernyit cemas. Matanya masih terpejam dan keringat dingin membasahi wajahnya.

"Dirga, bangun!" Sang dokter memberi instruksi.

Berhasil terbangun dengan sedikit terengah, Dirga merasa dadanya masih penuh dengan sisa ketakutannya yang tadi. Ketakutan itu sama persis seperti yang dia rasakan saat itu.

"Apa kamu berhasil ingat sesuatu?" tanya dokter Teresa.

Dirga mengangguk. Dia menegakkan tubuh dan mengatur nafasnya lebih dahulu sebelum menjawab.

"Aku melihat seorang wanita yang mengajakku bicara di toko mainan. Dia memanggilku Nathan. Dia bersikeras kalau aku adalah Nathan walaupun aku berkali-kali bilang kalau aku bukan Nathan. Sebelumnya, aku nggak ingat soal dia. Sayangnya, aku nggak bisa dengar ucapannya. Trus tiba-tiba aja aku berbaring tengkurap di aspal basah belakang lapangan voli itu," Dirga menjelaskan apa yang dilihat dan dirasakannya.

"Minum dulu," Renata menyodorkan segelas air kepada Dirga. Dirga menghabiskannya dalam beberapa teguk. Entah mengapa pengalaman tadi membuatnya dehidrasi.

"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Renata.

Dirga menyentuh dada kirinya, merasakan detak jantung yang cepat seperti saat dia mengkonsumsi kafein dalam kadar yang terlalu tinggi.

"Aku deg-degan," jawabnya. "Aku seperti merasakan ulang apa yang aku rasakan saat itu. Gemetar, kaget, syok, cemas dan perasaan negatif lainnya."

"Kita pulang aja dulu. Kita terapi lagi nanti saat kamu siap," usul Renata.

Tapi Dirga menggeleng dengan tegas. "Nggak, aku harus tahu apa yang wanita itu ucapkan. Dokter, bisa kita ulang? Tolong!"

"Kamu yakin? Ada baiknya kamu menstabilkan dulu detak jantung kamu," Dokter Teresa menekan tombol di laptop-nya lalu suara alunan musik yang menenangkan pun terdengar melalui speaker.

Musik ini hanya instrument tanpa disertai nyanyian dari seorang penyanyi. Ada suara-suara lain yang mengiringinya seperti gemericik air hujan dan ciutan burung yang bersaut-sautan.

Dirga menenangkan diri dengan bersantai, menikmati suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya sambil melakukan olah nafas agar tubuhnya lebih tenang.

Mereka mengulang terapi saat Dirga merasa siap dan detak jantungnya terpantau normal.

Sebagaimana proses sebelumnya, Dirga pun kembali ke toko itu sesaat setelah kesadarannya berada di antara tidur dan terjaga.

"Nathan?" panggil wanita itu.

"Saya bukan Nathan," jawab Dirga.

"Kamu Nathan," ucap wanita itu sedikit memaksa.

"Maaf, Anda salah orang," Dirga juga bersikeras.

Lalu kejadiannya terulang seperti sebelumnya, suara perempuan itu menghilang padahal Dirga masih bisa melihat dengan jelas bahwa bibir wanita itu bergerak.

Namun kali ini Dirga samar-samar mendengar nama Tari disebut. Sayangnya, lagi-lagi Dirga sudah berpindah ke atas aspal entah bagaimana.

Dirga dibangunkan tanpa ada kemajuan. Akan tetapi kali ini, Dirga tidak ketakutan seperti sebelumnya. Dirga pun memaksa mengulang terapinya.

"Aku dengar wanita itu menyebut Tari. Tapi hanya nama itu yang aku dengar. Aku nggak bisa dengar kalimat yang dia ucapkan. Rena, mereka mungkin berhubungan, si wanita yang aku temui dan Tari yang masih SMA itu. Aku harus coba lagi. Dikit lagi mungkin aku bisa ingat. Bisa kan, Dok?" Dirga menatap dokter Teresa penuh harap.

"Oke. Kita relaksasi dulu seperti sebelumnya ya," Dokter Teresa setuju. "Tapi ini adalah yang terakhir untuk hari ini. Jika mau mencoba lagi, lusa kita bisa bertemu lagi di sini, okay?"

Dirga mengangguk. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, berharap percobaan terakhir ini akan berhasil membuatnya ingat lebih banyak apa inti dari ucapan wanita itu.

Mereka pun mengulang proses terapinya. Renata duduk di samping suaminya. Dia meremas tangannya sendiri sambil menggigit bibir dalam untuk meredakan ketegangan.

"Nathan," Dirga kembali ke momen itu. Dia menoleh ke kiri, melihat wanita berambut ikal dan eye shadow ungu memanggilnya Nathan.

"Saya bukan Nathan," jawab Dirga.

Wanita itu tersenyum hangat. "Kamu Nathan."

"Maaf," Dirga membalas senyum wanita itu. "Anda salah orang."

Kali ini semua terasa menjadi jauh lebih nyata. Dirga mendengar suara nyanyian lagu anak-anak yang diputar di speaker toko.

"Aku mau ini, Mama," Ada suara anak kecil yang merengek minta dibelikan sebuah mainan di lorong sebelah.

"Mbak, apa sarung tangan ajaibnya ada yang ukuran lebih besar dari ini?" Dirga juga mendengar suara seorang pria bertanya kepada salah satu karyawan tak jauh dari posisinya berdiri.

Lalu saat Dirga kembali fokus pada wanita di hadapannya, saat itulah dia mendengar semua ucapan wanita itu dengan jelas, kata demi kata. Dirga ingat semuanya.

Di ruang konsultasi dokter Teresa, Dirga masih terpejam. Tangannya terkepal dan badannya bergerak tidak nyaman. Dokter Teresa melihat ini sebagai tanda bahwa dirinya harus segera menyadarkan Dirga.

Sayangnya, walaupun Dirga merasakan stimulus untuk bangun tapi dia merasa kesulitan untuk kembali terjaga. Rasanya ada yang menahannya untuk tetap tertidur.

"Dirga, Dirga?" Dokter Teresa terus memanggil namanya.

"Dokter, kenapa? Kenapa dia nggak langsung bangun seperti sebelum-sebelumnya?" Renata sedikit panik. Pasalnya, Dirga terlihat seperti seseorang yang sedang bermimpi buruk tapi dia tidak bisa dibangunkan.

"Tenang, Renata. Dirga sepertinya masuk terlalu dalam dan sugesti saya menjadi sangat kuat sehingga dia sulit kembali ke kesadaran penuh. Apalagi dia mungkin mengalami kelelahan juga," jawab dokter Teresa.

Dokter Teresa kembali memberi sugesti untuk membuat Dirga lebih tenang dan secara perlahan bisa membuka mata.

"Jangan memaksakan diri, Dirga. Bangun dan buka mata secara perlahan saja, coba gerakkan tangan kamu untuk membantumu bangun," ucap Dokter Teresa.

"Gerakkan jarimu," sang dokter memberi instruksi.

Jemari Dirga tetap diam. Walaupun sudah diminta untuk tidak khawatir, tetap saja Renata cemas melihat Dirga tidak berhasil menggerakkan jari.

"Coba lagi, Dirga," perintah dokter Teresa.

Lalu jemari Dirga bergerak secara perlahan. Renata bernafas lega.

"Bagus. Sekarang angkat tangan kananmu," Sang Dokter memberi instruksi lagi.

Dirga menggerakkan satu tangannya. Dia mengangkat tangannya semakin tinggi hingga terlihat seperti menggapai udara. Lalu tubuhnya sedikit tersentak.

"Berhasil? Sekarang, buka mata kamu secara perlahan," ujar sang dokter lagi.

Sesaat kemudian, kelopak mata pria itu berkedut lalu terbuka secara perlahan.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang