Bab 53

188 17 0
                                    

"Berhenti gangguin adikku!"

BRUKK!!

Arian mendorong anak kelas dua itu lalu memeluk Brian - adik kembarnya yang menangis.

Satya berpikir keras. Tidak bisa dia temukan dalam memorinya siapa para anak ini. Siapa Brian dan kakak kembarnya?

Lalu suara ketukan sepatu terdengar pelan di sisi kirinya. Satya menoleh, mendapati dirinya sendiri berjalan mengendap - endap mengintip kejadian tadi.

Usia berapa dirinya versi kecil ini? Satya menebak mungkin usia 7 tahunan. Tapi nama Dirgantara Mahendra tercetak di saku seragam anak ini.

Satya tersenyum getir. Tentu saja, mana mungkin namanya Satya.

"Brian yang nakal aja punya kakak. Aku selalu jadi anak baik tapi nggak punya kakak. Aku juga mau punya kakak kembar," gumam Dirga kecil menatap sendu ke sekumpulan anak itu.

Ucapan yang terdengar lirih itu berefek seperti petir yang menyambar di telinga Satya.

"Kamu ada karena otak Dirga ingin memberikan sosok pelindung untuk dirinya sendiri." 

Suara tanpa tubuh bergaung di telinganya.

"Kamu adalah Dirga."

"Saya Satya!" Satya menggelengkan kepalanya, menutup kedua telinga berharap suara - suara itu berhenti terdengar.

"Kamu adalah Dirga."

"Kamu dan Dirga itu orang yang sama." 

"Akan terjadi fusi antara kamu dan Ares." 

"Nggak! Nggak mau!" Suara Satya meninggi.

"Satya akan selalu hidup... itu nggak akan seburuk yang kamu kira." 

"NGGAK!!" Satya berteriak. Lalu lantai yang dia pijak mendadak hilang dan dia merasa seolah dirinya terjatuh ke dalam lubang gelap yang tidak berdasar.

"Satya! Satya, bangun!" Renata menepuk - nepuk pipi Satya.

Pria itu masih berada dalam dekapannya. Tapi matanya terpejam dan dia sulit sekali dibangunkan.

"Satya!"

Satya tersentak setelah panggilan Renata yang entah ke-berapa kali.

"Satya? Kamu udah bangun?" Renata menatap Satya penuh kekhawatiran. "Aku pikir kamu pingsan."

Satya melirik ke kanan kiri seperti orang linglung. Baru saja dia merasa jatuh ke dasar jurang, tapi ternyata dia malah kembali ke taman kolam renang. Sepertinya yang tadi itu mimpi, tapi rasanya sangat nyata.

"Apa saya ketiduran?" tanyanya kepada Renata.

"Ya. Tapi kamu susah banget dibangunin. Aku pikir kamu pingsan. Kamu baik - baik aja? Kamu kayaknya kecapekan, Satya. Ayo tidur di kamar aja!"

Satya mengangguk. Tubuhnya juga sakit semua. Dia ingin tidur di kasur yang empuk. Tapi dia tahu kasur itu milik Renata sementara dia tidak ingin membuat siapapun curiga dengan tidur di kamar lain.

Jadi, Satya pasrah berbaring di sofa seperti biasa.

"Tidur di kasur aja, Satya. Kamu butuh tempat yang nyaman dan luas," kata Renata. "Nggak usah khawatir, biar aku yang di sofa."

"Nggak perlu, Renata. Kamu hamil masak tidur di sofa?"

"Sst! Kali ini kamu harus nurut sama aku, okay? Sofanya empuk kok, cuma sempit aja. Tapi badanku lebih kecil daripada kamu. Ukuran segini cukup buatku. Duh, badanmu agak hangat, kamu harus tidur nyaman. Ayo berbaring, aku kasih obat penurun demam, ya?" Renata mendudukkan Satya di ranjang.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang