Bab 155

93 8 0
                                    

"Bukti?"

"Iya. Nanti aku mau buktiin ke kamu kalau aku udah jadi satu sama Satriya." Senyum jahil menghiasi wajah Dirga. Renata tidak bisa menebak apa yang sedang Dirga rencanakan.

"Aku percaya kok sama kamu. Kamu nggak papa?" Terdengar nada khawatir dari pertanyaan Renata itu.

"Aku baik-baik aja. Udah kubilang kalau kali ini aku bersyukur seandainya bisa fusi beneran, 'kan?" ucap Dirga lembut, menenangkan istrinya.

"Syukurlah, aku khawatir kalau kamu syok kayak dulu. Di sana jangan sampai telat makan, ya. Bilangin ayah kalau nanti ayah sembuh, anak-anak mau nginep di rumah. Ini trio bocil udah semangat banget." Terdengar riuh tepukan dan gumaman bersaut-sautan yang berasal dari Satya, Ares dan Sherina. Mereka heboh ingin bergantian bicara dengan papa dan kakeknya.

Dirga menahan tawa mendengar gumaman heboh putra-putrinya.

"Video call, ya? Anak-anak mau ngomong sama kamu dan ayah," pinta Renata.

Dirga pun mengalihkan panggilannya ke mode video call. Terlihat tiga wajah kecil memenuhi layar ponselnya, Renata tidak dapat tempat.

"Papa Papa Papa, kata mama adik bayi yang waktu itu bakal ikut ke rumah nggak lama lagi, ya?" tanya Satya.

"Iya ... nanti kalau papa pulang dari sini sama opa Bagas, papa bawa sekalian adik bayinya," jawab Dirga.

"Yeeeey!!!" Trio bocil bersorak.

"Asyik, kalau ada banyak adik nanti aku bisa bikin pasukan!" Ares meninju udara dengan riang.

"Pasukan apa?"

"Pasukan perang, buat melawan kejahatan!" jawab Ares penuh semangat.

"Tukang perang udah banyak. Dunia butuh lebih banyak orang pintar dan bijak," saut Satya.

"Pintar bijak tapi gampang ditindas buat apa?" Ares membalas ucapan Satya.

Dirga terkekeh melihat dua putranya yang baru berusia 6 tahun itu berdebat tentang mana yang lebih baik, orang yang jago berkelahi atau yang pintar.

"Sudah sudah, jangan berdebat. Semua yang baik-baik dibutuhkan dunia. Kalian nggak harus ambil pilihan yang sama," timpal Dirga memberi nasehat.

"Bener tuh kata papa. Yang jelas, abang-abang sekolah dulu yang pinter." Sherina menambahkan.

"Cucu opa kok pinter-pinter sih? Kalian 6 tahun apa 16 tahun?" Bagas menghadapkan wajahnya ke kamera supaya para cucunya itu melihatnya. Dirga menyerahkan ponselnya, membiarkan Bagas bicara dengan trio bocil.

"Opa, Opa cepet sembuh, ya. Nanti kami main ke rumah Opa," ujar Sherina sambil melambai ceria.

"Siap ... kalau perlu nanti malam opa pulang." Bagas membalas lambaian para cucunya.

Selama dirawat di rumah sakit, tiga cucunya yang selalu berisik itu menelepon tiga kali sehari. Walaupun kadang kewalahan menanggapi kecerewetan mereka, tapi justru itulah yang membuat hari-hari Bagas di rumah sakit lebih terasa ringan dan lebih cepat berlalu.

Hanya setelah rawat inap dua malam, Bagas sudah dibolehkan pulang karena hasil labnya normal.

Renata memenuhi janjinya kepada Bagas untuk membawa anak-anak berkunjung ke rumahnya. Sedangkan Dirga juga memenuhi janji membawa Satriya kecil pulang.

"Apa? Kok nama adik bayi sama kayak nama papa Satriya? Nanti bingung dong kalau lagi barengan?" protes Sherina saat dia tahu dari Dirga bahwa nama adik paling kecil mereka adalah Satriya.

Renata dan Dirga saling bertukar pandang. Masing-masing bingung bagaimana harus menjelaskan. Dulu mereka pelan-pelan menjelaskan kepada trio bocil yang masih baru memasuki usia 5 tahun bahwa papa mereka istimewa karena bisa bergantian menjaga mereka. Jika satu papa tidur dan terlalu lelah, papa yang lain akan datang menggantikan.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang