Bab 89

131 17 0
                                    

"Mereka ingin besok. Tapi besok jadwal Anda sangat padat. Jadi saya menunda pertemuannya menjadi lusa, Tuan" jawab Putra.

"Cepet juga, ya? Oke deh. Nggak papa lusa aja kalau gitu," Dirga menganguk setuju.

Seperti biasa, sejak putra kembarnya lahir, Dirga selalu semangat bekerja dengan sangat fokus demi meningkatkan efektifitas. Dia bergerak cepat, bekerja tanpa jenda kecuali makan siang. Itu semua dia lakukan supaya waktu berlalu cepat dan dia segera kembali ke keluarganya di rumah.

Walaupun kadang dia merindukan saat-saat bekerja bersama Renata, tapi Dirga tahu Renata lebih dibutuhkan di rumah daripada di kantor. Dan Dirga pun cukup menikmati peran barunya sebagai ayah.

Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, Dirga nyaris melompat saat keluar dari mobil yang dikendarai Putra begitu mobil itu berhenti di depan pintu rumahnya.

"Rena ... Satya ... Ares ... Sherina ...." Dirga berlarian dari arah pintu sambil memanggil istri dan anak - anaknya. "Papa pulang," ucapnya dengan ceria.

"Wiii ... papa pulang ... asyik ...." Renata menganggkat tangan Satya seolah bayi itu yang sedang menari gembira papanya pulang.

"Papa bawa hadiah buat kalian," Dirga meletakkan semua barang bawaannya dengan gembira.

"Ini buat Mama," Dirga menyerahkan sekotak martabak spesial kepada Renata.

"Ini buat Satya dan Ares," Kali ini Dirga meletakkan dua mobil-mobilan seukuran paha putranya.

"Ini buat princess Sherina," Dirga menggoyangkan boneka babi kecil berwarna pink untuk menghibur Sherina.

"Tiap hari bawa mainan. Mereka aja masih sekecil ini, belum main mainan kayak gini," ujar Renata.

"Ya nggak papa lah, ditabung," Dirga meraih tiga mainan itu lalu meletakkannya di tiga buah kontainer besar yang masing-masing berlabel nama Satya, Ares dan Sherina.

Kotak dari plastik berukuran 60 x 40 x 40 cm itu masing-masing berisi mainan bocah yang namanya tertulis di badan kontainer. Dan sekarang, setiap kotak sudah hampir penuh karena Dirga membeli mainan hampir setiap hari. Padahal pemilik mainannya saja masih belum genap tiga bulan.

"Kalau udah penuh, stop dulu beli mainannya! Belum juga kepake, Dirga," ujar Renata.

"Oke, Bos. Setelah ini penuh aku akan beli ayunan dan perosotan. Ruang bermainku dulu juga cukup buat bikin kolam bola tuh," Dirga berganti pakaian dengan semangat sambil terus menyusun rencana.

"Astaga, kapan yang mau perosotan sama main ayunan? Ini mereka duduk aja belum bisa," Renata menggeleng heran dengan level semangat suaminya. Sebenarnya untuk siapa semua mainan ini? Untuk putra-putri mereka atau jangan-jangan untuk Dirga sendiri.

"Pasti deh kalau soal mainan gini, sisi Andikanya dominan. Ck ck ck ..."

"Biarin aja, Rena. Kan palingan umur 6 bulan udah bisa jalan. Ya, kan?"

"Hah?" Renata melongo.

"Bayi siapa enam bulan bisa jalan, Alfonso!" 

"Jangankan jalan, lari atau salto juga bisa," nyinyir Renata.

"Hah? Beneran?" Bukannya sadar akan ucapan sarkas itu, Dirga malah duduk di samping Renata, menghadapnya dengan serius seolah fakta yang Renata berikan tadi adalah suatu hal yang benar.

"Ya nggak lah, Dirga sayang! Enam bulan mana bisa jalan? Nggak masuk akal!"

"Trus umur berapa dong?" Dirga masih bertanya dengan wajah polos.

"10 bulan aja udah cepet banget. Mungkin rata-rata 12 sampai 14? Segitu lah pokoknya. Nggak sama tiap anak tapi yang jelas nggak 6 bulan juga," terang Renata.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang