Bab 96

127 17 0
                                    

"Silakan, Mas," Sang kasir menunjuk sebuah kursi untuk diduduki pemuda itu. "Tunggu di sini ya, Mas. Habis ini orangnya da–"

"Ada apa?" Seorang pria berusia akhir 30-an masuk ke ruang pengawas dengan langkah tegas, menyela ucapan sang kasir.

"Perkenalkan, saya Aditya," Pemuda yang ternyata bernama Aditya itu mengulurkan tangannya kepada pria yang baru masuk tadi. "Saya hanya pelanggan yang kemarin kehilangan dompet. Apa Anda berkenan mengijinkan saya memeriksa CCTV selama saya di sini kemarin?"

"Boleh saja. Tanggal berapa jam berapa kamu di sini?" tanya pria itu. Gesturnya kaku, terlihat sekali dia bukan tipe orang yang ramah.

"Kemarin, 7 Maret, pukul 7 malam," jawab Aditya.

"Jam 7 tepat?" tanya pria itu lagi.

"Hm ... mungkin lebih sedikit. Coba pukul 19.10," jawab Aditya sembari mendudukkan dirinya di samping pria itu.

Aditya melirik kartu ID pria itu dan membaca namanya adalah Erlangga.

"Tujuh ... lewat ... sepuluh ...," Erlangga membuka rekaman CCTV pada tanggal dan jam yang Aditya sebutkan. Pria itu mencari-cari wajah Aditya di rekamannya. Untungnya, toko ini terkenal sebagai toko mainan mahal dan kualitas CCTV-nya bagus.

"Nah itu! Itu saya!" Aditya menunjuk video dirinya yang berjalan masuk pada pukul 19.12 wib.

Erlangga mengangguk lalu mulai menelusuri langkah Aditya sejak dia masuk sampai keluar lagi.

Aditya memperhatikan rekaman setiap CCTV yang ada. Setelah siang kemarin Putra memintanya untuk menyelidiki kasus Dirga, Aditya sengaja mengunjungi toko mainan ini malam harinya.

Dia berjalan di setiap lorong dan sudut toko ini agar dirinya terekam CCTV sehingga dia punya alasan untuk duduk di tempat ini sekarang. Aditya tak melewatkan satu titik pun.

15 menit lamanya dia dan Erlangga memperhatikan dengan detail pergerakannya sendiri semalam sampai akhirnya senyum Aditya tersungging dengan misterius.

"Kamu cuma lihat-lihat mainan. Lihat ini, lihat itu, lalu mengembalikan ke rak. Begitu terus sampai ke setiap lorong sampai kamu pulang tanpa membeli apa-apa. Tapi nggak ada orang yang terekam mencuri dompetmu di sini," ujar Erlangga.

"Hehe, iya maaf, Pak Erlangga. Saya memang cari mainan buat keponakan saya yang cerewetnya minta ampun," jawab Aditya.

"Kok kamu tahu nama saya Erlangga?" tanya Erlangga.

"Lha itu! Ada di kartu karyawan," Aditya menunjuk kartu identitas karyawan yang tergantung di dada Erlangga.

"Oh."

"Hm ... tapi, Pak, saya juga lihat-lihat mainan di ujung lorong yang ini," Aditya menunjuk sebuah video yang memperlihatkan tangkapan salah satu CCTV. "Tapi waktu saya bergeser ke arah dinding, saya nggak terekam di CCTV manapun. Saya rasa ini titik buta kamera pengawas toko ini. Sayang sekali. Gimana kalau saya dicopet pas posisi saya di situ? Sisa lorongnya cukup lebar, mungkin dua meter, ini berpotensi merugikan toko kalau ada pencurian mainan di rak bagian sana."

"Ti–titik buta apa? Instalasi semua kamera di sini sudah pas kok. Nggak ada titik buta!" Erlangga terlihat sedikit tersinggung dengan pernyataan Aditya.

"Nah, ini ada rekan saya. Danu, sini!" Erlangga memanggil seorang pria yang baru saja masuk ruangan. Usianya terlihat lebih muda daripada Erlangga.

"Saya udah pernah minta kamu cek posisi semua CCTV, kan? Kamu udah pastikan nggak ada titik buta?" tanya Erlangga.

"Nggak ada kok, Pak. Saya udah cek," jawab Danu.

"Kalian perlu bukti? Boleh saya pakai satu walkie talkie kalian? Saya akan berdiri tepat di ujung lorong itu, lalu kalian cek apakah saya terlihat di CCTV, okay?" Aditya meraih satu walkie talkie di ruang pengaman itu lalu beranjak menuju titik yang dia maksud

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang