Bab 141

97 14 0
                                    

Cukup lama Dirga dan Renata berbincang dengan Lena, seperti biasa, di cafetaria rumah sakit. Sampai akhirnya kabar yang telah mereka tunggu selama empat tahun akhirnya datang juga. Angga sadar. Lena berlarian menuju ICU tanpa memikirkan apapun lagi saat dia mendengar kabar itu.

Dokter melarang mereka mengunjungi Angga secara bersamaan dan Angga pun belum siap dengan obrolan berat. Renata menahan langkah Dirga agar pria itu tidak tergesa menemui Angga. Selain agar Lena bisa menemani Angga lebih lama tanpa diganggu apapun, Renata pikir kehadiran Dirga bisa berdampak negatif pada mental Angga yang belum sepenuhnya pulih.

Dirga terpaksa menahan keinginannya. Dia tahu Renata benar. Mereka menunda pertemuan dengan Angga hingga waktu yang belum bisa mereka tentukan.

Malamnya, Dirga tidak bisa tidur. Dia tetap memantau keadaan Angga dari rumah dengan terus berkomunikasi dengan Lena.

"Angga semakin stabil, dia udah nggak koma. Dokter bilang kalau tanda vitalnya aman selama beberapa hari ini, Angga bisa pindah ke ruang perawatan biasa," ujar Lena saat Dirga menanyainya soal keadaan Angga.

Tidak hanya malam ini, malam-malam berikutnya pun Dirga susah tidur. Tapi untung saja hanya butuh tiga hari sampai akhirnya Angga dipindahkan ke kamar biasa.

"Aku udah bilang ke Angga. Kami sempat bicara panjang lebar. Dia udah tahu apa yang terjadi dan dia mau bicara sama kamu. Nanti sore kamu bisa ke sini buat temuin dia," ungkap Lena suatu pagi dalam pembicaraannya melalui telepon dengan Dirga.

Dirga meninju udara penuh semangat. Pria itu menatap Renata yang sedang duduk di sampingnya dengan pandangan penuh kelegaan.

"Gimana? Apa kata Lena?" Renata menunggu penjelasan dari Dirga.

Dirga tersenyum lalu memeluk istrinya. Pelukan itu kelewat erat sampai tulang Renata terasa dihimpit oleh otot-otot Dirga. "Jangan kebangetan peluknya, sakit, Dirga," keluh Renata.

"Ops, maaf, terlalu semangat," Dirga melepas pelukannya. "Lena bilang Angga udah bersedia bicara sama aku. Rena, kayaknya ini pertanda baik deh. Ya, kan?"

"Syukurlah, kapan kita ke sana?"

"Kata Lena nanti sore."

*****

Sore harinya, Dirga dan Renata berjalan cepat melewati koridor rumah sakit dengan perasaan cemas dan gembira yang bercampur menjadi satu. Berdiri di depan pintu kamar Angga, Dirga mengatur nafas lebih dulu sebelum dia mengetuk.

Setelah tiga ketukan, mereka mendengar suara Lena mengijinkan mereka masuk. Dirga dengan tegang memutar gagang pintunya dan melangkah masuk.

Di dalam ruang perawatan itu, Angga telah pulih dari koma yang telah mencuri kehidupannya selama empat tahun.

Saat akhirnya Dirga dan Renata berada di hadapan Angga, suasana tenang terasa begitu kuat. Angga duduk setengah berbaring di atas ranjangnya dengan Lena di sisi menyodorkan sebotol air mineral padanya. Pandangan Angga tiba-tiba beralih dan menatap langsung ke arah Dirga.

Angga meminum sebentar air mineral di dalam botol yang istrinya sodorkan itu lalu kembali menatap dua tamunya.

Dalam hati Dirga, ia sudah siap untuk menerima amarah atau kebencian dari Angga. Dia tahu bahwa kesalahan masa lalunya yang membuat kesialan menimpa Angga tidaklah mudah untuk diampuni. Dirga merasa takut akan reaksi marah yang dulu pernah terlihat di mata dan tatapan tajam Angga. Tapi, saat Angga tersenyum dan menyapanya, hati Dirga terasa terharu, walaupun heran.

"Dirga ... lama nggak ketemu." Ucapan Angga terdengar lembut dan jernih.

Dirga menatap Angga dengan tatapan campuran antara terkejut dan haru. "Angga, gimana keadaan lo sekarang? Lo kelihatan lebih seger. Gue seneng lo akhirnya sadar."

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang