Bab 142

92 11 0
                                    

Di dalam ruang kunjungan tahanan yang sepi, Daniel sudah duduk di kursi pengunjung yang diapit oleh sekat kaca. Hening dan dingin. Ia merasakan detak jantungnya meningkat saat menunggu kedatangan Irena. Bukan gugup, tapi sangat bersemangat membayangkan muka kecut Irena nanti.

Di tangannya, ada undangan pernikahan Ryan dan Tari, tidak lebih dari sekedar senjata untuk melempar ejekan ke Irena. Sesekali Daniel meringis bak iblis saat melirik undangan itu, membayangkan dirinya yang sukses mengolok Irena sesaat lagi.

Sampai akhirnya, langkah berat dua wanita terdengar makin jelas. Irena muncul bersama satu petugas tahanan wanita yang menuntunnya. Wanita itu duduk di kursi yang ada di depan Daniel. Seperti biasa, mereka dipisahkan oleh sekat kaca yang transparan. Wajahnya tampak tenang namun matanya meredup, memandang Daniel dengan pertanyaan.

"Lama nggak ketemu, Irena," sapa Daniel dengan wajah tengil.

"Ngapain lagi kamu ke sini, Dirga?" Irena menatap ketus ke arah Daniel, mencoba bersikap tenang padahal dalam hatinya dia merasa was-was. Tiap kali Dirga atau alternya datang, pasti ada saja berita buruk untuknya.

Sudah empat tahun berlalu. Sejak Ryan mengakhiri hubungan dengannya, Irena nyaris gila. Dia sempat depresi dan mengalami halusinasi. Petugas sempat mengira dia terkena schizophrenia atau apa, namun Irena bersyukur yang dia alami hanya depresi berat. Untung saja dia tidak bunuh diri, pikirnya.

"Bukan Dirga, aku Daniel," ujar Daniel. "Padahal gaya pakaianku sama Dirga beda banget. Masih aja nggak bisa bedain. Pelayan di rumah pun bisa bedain. IQ-mu terlalu jongkok, Irena. Heran Dirga dulu bucin ke kamu. Sebagai alternya aku merasa ikutan tolol."

Irena mendengus. Dia sudah sering diejek ini itu oleh Daniel tapi dia tidak pernah peduli. "Terserah," ucap Irena. "Buruan to the point aja, ke sini mau ngapain? Aku nggak ada keinginan buat ngobrol sama kamu."

"Ya sama sih. Aku juga nggak kesenengan ketemu kamu. Btw siapa yang kamu tunggu dan pengen kamu ajak ngobrol? Ryan, ya? Tapi Ryan yang kamu harapkan malah nggak pernah dateng? Yeeheee kasihan banget!" Daniel tertawa lepas mengejek nasib Irena sampai wanita itu mengepalkan kedua tangannya karena kesal.

Dengan senyuman puas, Daniel lalu mengangkat undangan pernikahan Ryan dan Tari dan menempelkannya di tengah-tengah kaca. "Aku mau kasih kamu 'kabar gembira' nih. Ryan dan Tari bakal nikah minggu depan. Ck ck ck, ternyata ayang Ryan udah bener-bener melupakanmu."

"Oh ... sakitnya hati ini ...," Daniel berdendang dengan nada tidak jelas dan suara sumbang.

Irena menatap undangan itu, rasa sakit mencengkeram hatinya. Namun, wajahnya tetap tersenyum, tersenyum pahit. "Kamu kelihatan bahagia banget," celetuk Irena.

"Jelas dong, aku sangat sangat bahagia lihat kamu kayak gini. Ditinggalkan oleh semua orang, hidup di tempat yang jauh dari kata ideal, nggak bebas, kehilangan pacar," ejek Daniel sambil tertawa.

"Ini pasti undangan palsu yang sengaja kamu bikin buat manas-manasin aku, kan?" Di tengah rasa terpuruknya, Irena masih menolak untuk percaya. Dia masih bertahan dengan khayalan palsunya bahwa Ryan belum melupakannya dan tidak mungkin berniat menikahi wanita lain.

"Palsu? Perlu minggu depan aku kasih foto dan video pernikahan mereka? Astaga ... dengan senang hati, Irena," kikik Daniel.

Emosi Irena pun terpancing. Rasa sakit yang ditahan-tahan meledak dalam dirinya. Dengan penuh amarah, dia berdiri dan menggebrak meja. Suaranya terdengar keras, "Bisa nggak kamu pergi dari sini dan nggak usah balik lagi? Aku nggak ada waktu ngeladenin kamu!"

Namun, Daniel tetap duduk dengan santai, menikmati pemandangan di hadapannya. Irena terlihat seperti orang gila, dan itu adalah adegan yang paling dia tunggu-tunggu.

My Six HusbandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang