PROLOG

47.8K 1K 9
                                    

Hujan lebat malam itu seakan tak pernah ingin berhenti disertai petir yang menyambar langit malam dan angin kencang bergemuruh. Hujan terus turun membasahi bumi seperti sudah terlalu lama memendam hasrat yang tak akan habis tersalurkan dalam semalam.

Hasrat itu begitu mencekam dan penuh kegelapan, membuat siapapun enggan untuk berada diantaranya. Entah ada apa, hujan malam itu seolah menumpahkan segalanya. Seluruh yang terpendam, terjatuhkan tanpa ragu, begitu kuat dan tanpa merasa takut, hingga tanpa sadar mampu membuat sebuah masalah.

Mungkin langit tengah bersedih dan menangis, meratapi sesuatu, namun tak tahu apa yang tengah diratapinya. Namun mungkin pula langit tengah berbahagia, sehingga kebahagiaannya itupun tercurahkan dengan aliran rejeki yang seharusnya tersyukuri.

Dibawah langit yang semakin gelap dan deras menumpahkan hujan, dua sosok remaja itu berdiri beratapkan genting di sebuah halte yang sudah lama tak terurus. Hembusan angin yang semakin mengencang menyapa tubuh mereka yang hanya tertutupi seragam putih biru setengah basah. Belum lagi cipratan air dari aliran air yang jatuh membasahi sepatu mereka, semakin menambah rasa dingin di tubuh mereka.

Naura memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan, dan sesekali melirik anak lelaki disampingnya. Rasanya sedikit tak nyaman berdiri berdua saja dengan lawan jenisnya di tempat yang cukup sepi seperti sekarang. Walaupun anak lelaki disampingnya adalah salah satu teman sekelasnya.

"Kau tidak masalah pulang selarut ini?" anak lelaki itu membuka suaranya setelah menatap arlojinya sesaat.

Naura menggeleng, "Justru aku yang bertanya seperti itu."

"Aku sudah bilang pada orang tuaku kalau aku akan pulang telat untuk mengerjakan tugas. Jadi sepertinya tidak akan masalah." Ujar anak lelaki itu.

"Aku juga tidak akan masalah."

"Tapi mereka pasti mencarimu." Anak lelaki itu menatap bersalah. "Maafkan aku, seharusnya kita tak mengerjakan tugasnya terlalu lama, sehingga kita harus pulang selarut ini."

"Mereka tidak akan mencariku." Naura tersenyum meyakinkan. "Tidak perlu minta maaf. Aku senang bisa mengerjakan tugasnya hingga selesai."

Anak lelaki itu tersenyum sedikit ragu, "Kau yakin?"

"Yakin. Kau tenang saja, jangan khawatir."

"Baiklah."

Keduanya kini terdiam dan suasana canggung itu kembali muncul melingkupi satu sama lainnya. Naura pun merasa enggan untuk membuka pembicaraan lagi atau sekedar mencari topik yang bisa mereka bahas. Entahlah, kediaman mereka terasa lebih baik daripada harus mengobrol dibawah hujan yang semakin deras.

"Kau kedinginan ya?" tanya anak lelaki itu saat menatap Naura yang semakin mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri.

Naura mengangguk perlahan, "Hujannya semakin deras, dan anginnya pun semakin kencang. Seharusnya aku membawa jaket tadi pagi sebelum sekolah."

Anak lelaki itu mendekat kearah Naura, menggosok-gosokan tangannya perlahan sebelum menempelkannya pada lengan Naura. "Apa sedikit membantu."

Naura mengangguk perlahan, tiba-tiba merasa gugup. Anak lelaki itu kembali menggosok kedua telapak tangannya dan menempelkannya pada lengan Naura. Begitupun seterusnya disertai candaan kecil yang membuat mereka berdua tertawa bersama. Hingga tanpa sadar sepasang mata penuh amarah tengah memperhatikan dari kejauhan.

Sosok tinggi dan tegap itu mengepalkan tangannya keras, penuh amarah dan kebencian hingga buku-buku tangannya memutih. Sosok itu tak akan tinggal diam dan membiarkan apa yang menjadi miliknya disentuh oleh orang lain. Tak akan ada ampun bagi siapapun yang sudah berani menyentuh miliknya termasuk anak ingusan itu. Anak itu harus merasakan akibatnya, dan itu adalah sebuah harga mutlak.

Dengan langkah lebarnya, sosok itu berjalan menembus hujan yang masih deras. Membiarkan jaket dan seluruh pakaian yang dikenakannya terbasahi oleh air hujan. Amarah yang begitu besar membuatnya tak merasakan hawa dingin yang menerpanya, yang ada tubuhnya terasa semakin panas apalagi saat melihat kejadian it uterus berlanjut. Masker hitam yang tadinya hanya tersampir di dagu, kini dinaikannya hingga menutup mulut dan hidungnya. Dan dengan sekali tarikan, tubuh Naura sudah berada di pelukannya.

"Siapa kau?" teriak anak lelaki itu panik. "Lapaskan Naura!"

"Lepaskan aku! Lepas! Siapa kau?!" Naura meronta saat sosok itu mengangkat tubuhnya dan membopongnya pergi. Anak lelaki itu mengejar dan menarik jaket sosok itu dengan keras.

"Berhenti! lepaskan temanku!" anak lelaki itu menarik semakin keras, berharap sosok itu berhenti dan melepaskan Naura. Namun, sosok itu bahkan tak berhenti sedikit pun dan mendorong anak lelaki itu dengan kencang hingga terjatuh dan kepalanya membentur batu pembatas jalan hingga tak sadarkan diri.

"Apa yang kau lakukan pada temanku!" Naura kembali meronta dan menangis.

Naura terus meronta, memukul tubuh sosok itu yang seperti tak merasakan apapun. Padahal selama ini pukulan Naura cukup keras dan menyakitkan. Naura mulai ketakutan dan menangis disela rontaan tubuhnya.

"Lepaskan aku! Lepas!" Naura kembali meronta dan berusaha melepaskan diri. Namun apa daya, kekuatannya berbanding jauh dengan sosok itu.

Tiba-tiba Naura merasakan tubuhnya dibanting keatas rumput dan dengan naluri melindungi dirinya Naura mundur perlahan hingga tanpa sadar tubuhnya membentur pohon dibelakangnya. Kemana dia harus berlari sekarang? Semuanya yang dia lihat hanya pepohonan rimbun dan gelap. Seperti tak ada jalan yang bisa dilewatinya, dan seakan semua jalan yang dipilihnya hanya akan membawanya kedalam hal yang lebih buruk.

"Apa yang kau mau?" Naura menatap takut. "Kenapa kau melakukan semua ini?"

Sosok itu mendekat dan menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Naura. Dibalik masker yang dikenakannya, sosok itu menyeringai.

"Kau miliku, Naura. Dan aku tidak suka jika apa yang menjadi milikku disentuh oleh orang lain." Naura semakin ketakutan saat mendengar suara dalam itu. Entahlah, dia hanya merasa suara itu akan menghancurkan dan menyakitinya. '

"Aku bukan milikmu." Katanya tergagap.

Sosok itu mengangkat tangannya, membelai wajah Naura perlahan. "Kau milikku, dan selamanya akan begitu."

"Tidak! Aku bukan milikmu!" teriak Naura disela tangisan dan rasa takutnya yang semakin membuncah. "Kau orang jahat! Kau penjahat!"

"Ya, aku memang orang jahat." Sosok itu terkekeh. Begitu menyeramkan. "Dan kau ingin tahu sejahat apa aku?" katanya.

Naura mencoba memundurkan tubuhnya saat sosok itu semakin mendekat kearahnya. Tangannya berusaha memukul dan melakukan perlawanan, namun segera ditahan oleh sosok itu. Naura begitu ketakutan apalagi saat sosok itu begitu dekat dengan wajahnya. Dari balik masker itu, Naura dapat merasakan seringai menakutkan yang membuat seluruh tubuhnya menggigil ketakutan.

"Kau hanya milikku, Naura. Dan selamanya akan begitu."



____________

Don't forget for vote and comment.. :)

Come To You - #2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang