TUJUH PULUH TIGA

7.5K 336 2
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

__________________________________

Naura menghela napasnya dan tersenyum kecil menatap hamparan terasering di depannya. Seluruh lahan ditanami oleh banyak sayuran, seperti kol, selada, tomat, dan juga cabai. Dibawah terasering yang tinggi, terdapat sebuah sungai besar dengan bebatuan yang tak kalah besar, namun airnya mengalir begitu jernih dan menyegarkan. Musim kemarau baru saja berlangsung, sehingga aliran air masih sedikit deras dan akan mengering di pertengahan hingga musim hujan tiba.

Selama seminggu ini disinilah dia berada. Di sebuah rumah sederhana nan asri milik sahabatnya, Aleta. Seminggu yang lalu, dia menghubungi Aleta dan menceritakan semuanya, termasuk niatnya untuk menenangkan diri sementara waktu. Aleta pun menawarkan dirinya untuk ikut pindah ke desa kecil ini bersama bundanya, dan memulai hidup baru sebagai petani. Tentu saja itu ada syaratnya, karena dia memang harus benar-benar menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya, hingga batas waktu yang di tentukan. Dan Aleta hanya memberikan waktu kepadanya selama 10 hari. Setelah itu dia harus kembali ke rumah dan membicarakan semuanya secara langsung pada Celo.

Mengingat kembali Celo, membuat dada Naura terasa sakit. Kenyataan yang diterimanya beberapa waktu lalu masih terasa sangat sulit di terimanya. Dia mencintai Celo, benar-benar mencintai Celo, tapi dia tidak menerima kenyataan jika Celo-lah sumber mimpi buruknya. Dia tidak bisa menerima begitu saja atas perlakuan keji Celo kepadanya meskipun hal tersebut sudah berlalu 6 tahun lamanya.

Ketakutan itu masih kentara, masih terpatri nyata di dalam dirinya. Dan setiap kali dia melihat Celo, rasanya dia ingin memukulinya namun ingin memeluknya juga di satu waktu. Dia membenci perasaan itu, perasaan dimana dia tak berdaya karena hati dan otaknya tak bisa bekerja sama satu sama lainnya. Dia benci saat hati dan otaknya saling mengkhianati, hingga menimbulkan kebimbangan juga perasaan ambigu baginya.

"Jangan melamun, tidak baik ibu hamil banyak melamun seperti itu."

Naura tersenyum lembut menatap bunda Aleta yang cantik. Naura mengenal Aleta sudah sangat lama, itulah mengapa dia tak merasa canggung sama sekali pada bunda Aleta. "Aku tidak melamun, bun."

"Kau jelas melamun, Naura." Bunda tertawa ringan, dikedua tangannya membawa seikat sawi hijau segar. "Naura bantu bunda masak saja, bagaimana?"

Naura mengangguk meskipun dia yakin jika dia bisa membantu. "Oke, bun."

Naura mengikuti langkah bunda Aleta menuju sebuah dapur sederhana. Dapur yang mirip seperti dapur di rumah pak Rahmat. Hanya ada perapian sederhana dan alat-alat dapur yang untungnya masih baru.

Ruma Aleta terletak diatas bukit yang menghadap langsung lahan terasering besar dengan petak-petak kebun, yang terlihat seperti jahitan kain perca berwarna-warni. Rumah tersebut dibangun dengan gaya rumah panggung khas sunda yang sederhana namun nyaman ditinggali. Meskipun diatas bukit, namun rumah Aleta masih di himpit oleh beberapa rumah lain sehingga mereka memiliki beberapa tetangga di sekitarnya.

"Bun, tapi Naura tidak bisa masak." Naura mengerucutkan bibirnya.

Bunda Aleta tersenyum seraya berkata, "Bunda tahu."

"Makanya, belajar masak." Aleta tiba-tiba muncul dan merecoki, membuat Naura mendengus kesal.

"Kau bawa apa?" Naura menjukurkan lehernya mengintip isi ember yang dibawa Aleta.

"Ini tutut. Aku mengambilnya dari sawah barusan."

Mata Naura tiba-tiba melebar riang. "Wah sepertinya enak kalau tututnya dimasak dengan bumbu pedas."

Come To You - #2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang