EMPAT PULUH EMPAT

6.6K 322 4
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

_______________________________________________

Celo melangkahkan kakinya memasuki kantor kepolisian pagi itu ditemani Herwit yang selalu berada di sisinya. Mereka sudah membuat janji sebelumnya, sehingga setelah mereka mengkonfirmasi kehadiran mereka langsung dibawa ke ruang seseorang yang paling berpengaruh disana.

"Halo, om. Apa kabar?" celo tersenyum saat memasuki ruangan luas itu. Langkahnya mendekat kearah sofa dimana seorang pria seumur ayahnya duduk dengan tenang sambil menikmati secangkir kopi.

Aidan balas tersenyum dan berdiri. Tangannya meraih tubuh Celo, memeluknya untuk beberapa saat. "Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaanmu?" kemudian mengalihkan pandangannya kearah Herwit dan menyalaminya. "Sudah lama tidak bertemu denganmu, Herwit."

"Sama-sama, pak." Balas Herwit sekilas, lalu duduk di atas sofa.

"Kabarku baik, om." Celo menjatuhkan tubuhnya disamping Herwit. "Kapan terakhir kali kita bertemu? Sepertinya itu sudah sangat lama."

Aidan mengernyit sesaat, "Ya, sudah sangat lama. Bagaimana kabar kedua orang tuamu? Mereka sepertinya sibuk berkeliling dunia berdua."

"Ya seperti itulah, om. Mama dan papa sekarang lebih suka menikmati waktu liburan dan menyerahkan semua pekerjaan mereka padaku." balas Celo setengah mengeluh.

"Itu resiko setiap pewaris tunggal. Juna pun seperti itu." Aidan tertawa pelan. "Jadi alasan apa yang membuatmu mendatangiku saat ini? Aku yakin kau tidak datang dengan tangan kosong."

Celo tertawa pelan, "Om selalu tahu diriku." kemudian Celo menatap Herwit yang langsung memberikan sebuah amplop pada Aidan.

Aidan mengernyit menerima amplop tersebut. Tangannya membuka amplop tersebut dan membaca kertas yang berada di dalamnya. Wajahnya seketika berubah dingin saat satu persatu kalimat yang dibacanya mengungkapkan apa yang seharusnya tak pernah terungkap dan di ketahui oleh siapapun termasuk Celo. Isi surat itu begitu dirahasiakan oleh pihak kepolisian bahkan sejak belasan tahun yang lalu.

"Darimana kau mendapatkan ini?" tanya Aidan tajam. "Ini bukan sesuatu yang bisa kau dapatkan dengan mudah, Celo."

"Tidak penting darimana aku mendapatkannya." Celo tersenyum, namun ada seringai di dalamnya. "Aku hanya perlu bukti tambahan untuk mengungkap semua itu. Jadi aku kesini untuk meminta bantuanmu."

Suasana yang asalnya hangat kini berubah mencekam dan dingin. Meskipun kedua orang yang tengah saling memandang itu bukanlah musuh, tapi mengungkap apa yang seharusnya terjaga bukanlah hal yang pantas. Aidan sangat mengerti tujuan melakukan semua ini. Celo hanya ingin mendapatkan keadilan untuk kematian adiknya. Meskipun bisa secara tak langsung dikatakan jika Aidan salah satu alasan kecelakaan itu terjadi, tapi untuk saat ini menahan informasi yang diinginkan oleh Celo adalah keputusan yang terbaik. Dia tidak ingin ada korban tak bersalah lagi dalam kejadian ini.

"Aku tidak bisa membantumu." balasnya tegas. "Itu informasi yang kami simpan sejak lama dan kasus itu sudah ditutup belasan tahun lalu. Jika kau ingin membuka kasusnya lagi, sama saja kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dasar jurang."

"Aku berhak mencari keadilan bagi adikku. Tentunya untuk Juna juga." Celo menatap lekat. "Om tidak ingin selamanya dibenci oleh putramu sendiri seumur hidupmu bukan?"

Aidan terdiam beberapa saat. Hubungannya dengan Juna memang sudah lama begitu berjarak, hingga dia sendiri menyerah untuk membuat putranya kembali dan memaafkan semua apa yang telah dilakukannya dulu. Baginya sekarang, Juna baik-baik saja dan hidup dengan semestinya tanpa ancaman apapun lagi yang mungkin saja bisa kembali muncul jika Celo membuka kembali kasus kecelakaan itu.

Celo menatap dengan seksama. Dia sangat tahu apa yang tengah dipikirkan pria di hadapannya itu. Raut wajah dan gerak-geriknya sangat mudah terbaca olehnya. Tentunya hal yang dipikirkan oleh Aidan adalah sesuatu yang pasti akan mempersulit rencananya. Sehingga tanpa menunggu lagi dia segera bangkit diikuti Herwit.

"Aku sudah tahu jawabannya. Jadi aku akan mencari tahunya sendiri tanpa bantuan polisi." Ucap Celo tegas. "Pelaku yang menyebabkan kematian adikku akan segera mendapatkan apa yang seharusnya." katanya lagi, namun langkahnya terhenti oleh suara panggilan Aidan.

"Kau tidak boleh melakukannya, Celo. Jika kau bersikeras melakukan hal itu maka bukan hanya kau yang akan menggali kuburanmu sendiri, tapi juga keluargamu." Aidan menegakkan tubuhnya. "Setidaknya pikirkan saja orang-orang yang berada di sisimu sekarang, Alexa sudah lama pergi dan kau tak seharusnya memikirkan hal itu lagi."

"Tidak semua hal bisa kau kendalikan, Celo. Dan hal ini adalah salah satunya."

Celo membalikkan tubuhnya dan menghela napas. "Tidak akan pernah ada seorang pun yang bisa menyentuh keluargaku lagi."

"Aku tidak akan membiarkanmu melakukan apapun yang ada di otakmu sekarang." balas Aidan. Masalah ini tidak sesederhana apa yang dipikirkan. Akan banyak pengorbanan untuk membereskan satu masalah pendukungnya saja. "Dengarkan aku, celo. Aku menganggapmu seperti anakku sendiri, dan orang tuamu adalah teman baikku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka seperti apa yang terjadi pada istriku."

Kemudian dia mengalihkan pandangannya kearah Herwit, "Kau harus menghentikan penyelidikanmu."

"Om tidak berhak mengaturnya. Dia tangan kananku dan hanya aku yang berhak memberinya perintah." Celo menatap tajam dan dingin. "Aku tidak bermaksud untuk tidak menghormatimu lagi. Tapi jika aku sudah menentukan satu tujuan, maka tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Siapapun itu."

Celo melangkah keluar diikuti Herwit yang tak mengatakan sepatah kata pun. Aidan menghela napasnya kasar, sebelum menjatuhkan tubuhnya keatas sofa. Tak lama seorang polisi wanita memasuki ruangannya setelah memberikan hormat kepadanya. Jika Celo tidak mau mendengar peringatannya sama sekali, maka tak ada jalan lain selain menghalangi rencana itu.

"Anda memanggil saya, pak?" wanita itu bertanya langsung dengan suara tegas namun tak menghilangkan jati dirinya sebagai seorang wanita.

"Duduklah." Aidan mengusap wajahnya sesaat sebelum menatap wanita di hadapannya. "Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini?" tanyanya.

"Semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Kami tinggal menunggu ijin penangkapan."

"Kau memang bisa diandalkan, Riana."

Riana tersenyum sopan, menerima pujian yang diberikan atasannya. "Itu semua berkat bimbingan Anda, pak." balasnya. "Apa ada sesuatu yang mendesak hingga Anda meminta saya datang?"

Aidan mengangguk pelan, "Ada satu hal yang harus kau lakukan saat ini. Serahkan semua pekerjaan dan tanggung jawabmu dalam misi ini pada Malik karena kau memiliki misi khusus yang lain."

"Apa itu, pak?" Riana mengernyit.

"Selidiki apa yang tengah direncanakan oleh putra tertua keluarga Denova. Jika dia melakukan tindakan yang bertujuan untuk membuka kembali kasus kecelakaan istriku, kau harus membatalkannya." Jelas Aidan.

"Tapi kenapa kita harus menghalangi rencananya, pak? Bukankah jika kita membiarkannya akan lebih bagus untuk kasus ini?"

"Kasus ini memang terlihat hanya kasus sederhana yang bisa kau selesaikan hanya dalam hitungan jam. Tapi alasan kenapa kasus ini tidak pernah selesai adalah karena kasus ini menyangkut dendam seseorang."


Pendek banget asli.. Aku harap kalian suka dengan cerita ini meskipun authornya lama banget update.. :(

Come To You - #2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang