Don't forget for vote and comment..
Enjoy the story :)
_________________________________
Naura baru saja selesai mandi saat Rizi tiba-tiba menghampiri di teras rumah. Dengan wajah ceria, Rizi membawa sekotak mainan dengan beragam jenis dan meminta Naura untuk menemaninya. Naura tentu langsung menyetujui hal itu, karena saat ini dia juga sedang tidak ada kegiatan dan menemani Rizi bermain bukanlah ide buruk.
Hitung-hitung dia belajar menemani anaknya saat sudah lahir nanti.
"Rizi mau buat apa?" Naura mengeluarkan kepingan-kepingan lego dari dalam kotak, menyimpannya di dekat Rizi yang sibuk merakit legonya.
"Mau buat mobil-mobilan." Rizi tak menatap Naura sedikit pun, terlarut dalam kreasi mainannya. "Nanti mobil-mobilannya buat adek bayi yang diperut kak Naura."
Naura tersenyum lembut, "Wah, Rizi mau buat adek bayinya?" Rizi mengangguk. "Tapi kan adek bayinya masih lama lahirnya."
"Nanti mobil-mobilannya kak Naura yang bawa, terus disimpan sampai adek bayinya lahir." Rizi mendongak, menatap Naura dengan mata polos dan indahnya. "Rizi sering main legonya, jadi tahu kalau legonya pasti awet sampai adek bayinya lahir."
Naura tertawa mendengar ucapan Rizi. Cara bicara Rizi sedikit lebih dewasa dari kebanyakan anak-anak seusianya. Mungkin karena Rizi sedang dalam proses perkembangan, sehingga hal apapun yang di dengar maupun yang dilihatnya bisa diserap dengan begitu cepat. Makanya cara bicara Rizi kadang membuatnya harus menahan tawa dan gemas sekaligus.
"Oke, nanti kak Naura bawa mobil-mobilannya." Naura mencubit pipi Rizi gemas, lalu mendaratkan ciuman ringan di kedua pipi gembul anak itu. "Rizi biasanya main sama siapa?" tanyanya.
"Sama nenek, sama kakek." balas Rizi. "Bunda sibuk terus, jadi tidak pernah main sama Rizi."
"Memang bunda kerjanya apa?"
"Bunda kan polisi. Kata kakek polisi itu yang sering tangkap orang jahat." Rizi mengangkat wajahnya, membuat Naura semakin tersenyum karena menatap wajah lucunya.
"Jadi bunda Rizi kerjanya polisi?" Rizi mengangguk. Naura sebenarnya baru tahu jika Riana seorang polisi. Terlalu sibuk memperhatikan Rizi, membuat Naura tidak sempat mengobrol lebih banyak dengan Riana. Lagipula mereka baru bertemu dua kali, dan mungkin suatu saat mereka bisa mengobrol lebih banyak lagi satu sama lain, karena firasatnya seolah berkata mereka akan semakin dekat seperti saudara.
Naura mengusap pelan kepala Rizi, "Kalau sudah besar, Rizi mau jadi apa?"
Rizi menatap Naura sekilas, "Kalau sudah besar Rizi mau jadi seperti bunda. Bunda kan suka tangkap orang jahat, nah, Rizi juga mau jadi seperti bunda biar Rizi bisa tangkap orang-orang yang jahat."
"Wah, Rizi mau jadi orang hebat seperti bunda?" Naura tersenyum lebar. "Kak Naura yakin kalau Rizi bisa jadi seperti bundanya Rizi."
Rizi mengangkat kepalan tangannya ke udara, "Rizi juga mau jadi orang hebat biar bisa jagain adek bayi yang di perut kak Naura." katanya, membuat Naura terharu.
Naura belum lama mengenal Rizi, tapi entah kenapa perasaannya selalu begitu hangat saat berinteraksi dengan Rizi. Rizi seakan selalu hadir disaat yang tepat, disaat dia merindukan Celo di dekatnya. Baginya, Rizi seperti obat yang bisa menyembuhkan rasa kerinduannya pada Celo hanya dengan mendengar ocehannya yang menggemaskan.
Naura merindukan Celo, itu tentu saja. Tapi rasa sakit yang dirasakannya belum mampu membuatnya berniat kembali kepada pria itu. Ketakutan juga rasa khawatirkan akan masa lalu yang menghantuinya, selalu membuatnya marah. Dia mencintai Celo, dengan sepenuh hatinya, tapi dia juga tidak bisa untuk tidak membenci Celo karena apa yang telah dilakukan oleh pria itu sangat sulit di maafkannya. Celo telah menghancurkan masa remajanya, menghancurkan mental dan tubuhnya, juga membuatnya harus merasakan apa yang seharusnya tak boleh dirasakannya. Celo adalah sumber ketakutan dan rasa sakit yang dialaminya selama beberapa tahun ini, dan yang paling besar adalah pria itu telah membohonginya.
Seandainya jika Celo berani mengatakan semua ini dari awal, pasti ketakutan dan amarahnya tidak akan sedalam ini. Dia pasti bisa memaafkan Celo lebih cepat lagi daripada ini, sehingga dia tidak akan merasakan kebencian yang dirasakannya kini. Kebencian yang bahkan membuatnya enggan menatap wajah suaminya sendiri. Kebencian yang membuatnya ingin menghilang selamanya.
Tiba-tiba, dari ekor matanya terlihat satu sosok tinggi, menatapnya dari ujung tangga tanah. Dia mendongak, menatap pada sosok itu. Sosok yang tak ingin dilihatnya untuk saat ini.
Celo berdiri menatap istri yang sangat dirindukannya. Menatap lekat wanita yang juga menatapnya dengan tatapan penuh kebencian, juga ketakutan. Celo tidak tahu, apakah kedatangannya saat ini adalah waktu yang tepat atau bukan. Tapi dia tidak bisa menahan kerinduannya lagi, sehingga dia memilih mendatangi istrinya untuk meminta wanita itu kembali ke rumah.
Tanpa mengatakan apapun, Celo berjalan mendekat dan meraih tubuh istrinya kedalam pelukannya. Mendekapnya erat dan penuh kerinduan. Dia merindukan istrinya, sangat. Pelukannya dan kehangatan yang selama seminggu ini tak dirasakannya. Rasanya dia hampir gila karena tak merasakan kehangatan ini, apalagi tanpa aroma khas istrinya yang menenangkan.
Naura terdiam untuk beberapa saat karena pelukan Celo yang tiba-tiba. Namun dengan segera dia melepaskan dirinya dari pelukan itu, membuat Celo merasakan kehilangan. Naura menatap kearah Rizi yang menatap mereka bingung.
"Rizi masuk dulu ke dalam ya. Kakak harus bicara berdua dulu, oke?"
Rizi mengangguk tanpa bertanya apapun, lalu masuk kedalam rumah. Naura kemudian menatap pada Celo yang menatapnya sayu. Yaampun, wajah pria itu bahkan sangat pucat dari biasanya dengan janggut dan kumis tipis yang belum sempat dibersihkannya. Kantung matanya kini terlihat semakin hitam dan membesar, apa mungkin Celo tidak pernah tidur selama seminggu ini?
"Untuk apa kakak kesini?" tanyanya dingin.
Celo menatap istrinya sedih. Sedalam itukah kebencian Naura padanya hingga tak mau disentuhnya sedikit pun? "Aku ingin mengajakmu pulang." katanya pelan.
Naura tak menatap Celo lagi, memilih menatap lurus pada Herwit yang berdiri dibawah tangga. "Aku tidak ingin pulang."
"Kau harus pulang, Naura. Semua orang di rumah mengkhawatirkanmu." Celo menatap istrinya. Kini Naura juga enggan menatapnya. "Kumohon, pulanglah. Jika kau membenciku, setidaknya kau harus pulang untuk yang lainnya. Mereka semua sangat mengkhawatirkan kalian."
"Kumohon pulanglah, dan aku akan menuruti apapun yang kau mau."
Tidak, rasanya masih begitu sakit saat ini. Saat dimana dia menatap Celo, saat itulah rasa sakit dan kebencian itu semakin mencuat dari dalam dirinya. Dia tidak sanggup jika harus terus menatap Celo dan membiarkan dirinya tersakiti sendiri. Dia tidak sanggup jika harus terus melihat Celo karena dia takut jika semua rasa takut yang dirasakannya selama ini semakin besar.
"Kau berhak membenciku, Naura. Kau berhak marah dan melakukan hal apapun yang kau mau sekalipun kau ingin membunuhku. Aku tahu aku sangat bersalah padamu, tapi setidaknya pulanglah untuk papa dan mama, untuk Beve dan Ben yang juga mengkhawatirkan keadaan kalian. Aku akan menghilang jika memang tidak ingin melihatku, aku akan pergi jika itu yang kau mau."
Celo merasa tidak bisa lagi bertindak egois dengan mengutamakan dirinya sendiri. Naura membencinya, sangat jelas terlihat dari mata teduh itu. Jadi jika dia memaksakan kehendaknya untuk terus disamping istrinya disaat Naura tak menginginkannya, maka hanya akan ada Naura yang semakin membencinya. Dia akan memberi waktu pada istrinya untuk menenangkan diri, dan setelah Naura tenang dia akan kembali berusaha mendapatkan Naura kembali.
Namun semuanya hanya harapan. Dimana dia akan menjauh untuk sementara waktu dan membiarkan istrinya tenang. Karena kenyataannya Naura tak memikirkan hal itu dan memiliki keputusan yang lain. Keputusan yang membuat Celo merasa dunia dan hidupnya lenyap seketika.
"Aku ingin kita bercerai."
Celo menatap Naura terpaku. "Kau ingin berpisah denganku?" Tanyanya tercekat. Mimpi buruknya memang benar-benar terjadi.
"Ya." Naura menatap Celo dingin.
"Jika itu keinginanmu, aku akan memberikannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To You - #2 [COMPLETED]
Romance--Seri kedua dari 'The Way of Love: Destiny'-- Naura tidak pernah tahu takdir seperti apa yang telah Sang Maha Kuasa siapkan untuknya. Satu hal yang pasti, dia harus menggantikan kakaknya yang pergi tanpa alasan apapun untuk menikah dengan calon kak...