LIMA PULUH ENAM

7.4K 365 6
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

________________________________

"Berbaringlah dulu, sayang. Aku akan mengambilkan minum untukmu." Celo membantu Naura berbaring diatas ranjang sesampainya didalam kamar. Kemudian melangkah keluar setelah melihat Nuara mengangguk.

Naura menghela napasnya beberapa kali, mencoba mengontrol emosinya yang kini bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Tapi dia tidak ingin terlalu terlarut dengan emosinya, dia tidak membahayakan kondisi bayinya. Dokter bilang jika dia stres bisa saja ikut berpengaruh pada kondisi kandungannya. Maka dari itu dia berusaha mengendalikan emosinya dan tak membiarkan semuanya menjadi beban di pikirannya.

Tak lama Celo kembali dengan segelas air hangat. Naura tersenyum sambil mendudukan tubuhnya. Dia meraih gelas tersebut dan meminum isinya hingga tandas.

"Sudah lebih baik?" Naura mengangguk. "Apa yang kau rasakan saat ini?"

"Tadi aku merasa sangat marah, tapi sekarang rasanya aku lebih kearah kesal."

Celo tertawa pelan, meraih tangan istrinya dan mengecupnya. "Aku kira kau akan menyetujui permintaan mama tadi dan meninggalkanku."

Naura mendengus, "Mana mungkin. Aku tidak mau menyerahkan suamiku sendiri pada orang lain. Wanita mana yang rela jika melihat suaminya bersama wanita lain?" kesalnya. "Ah, aku kesal sekali. Bisa-bisanya mama memintaku meninggalkan kakak dan membuat kakak kembali pada kak Maura. Apa mama tidak berpikir tentang perasaanku sedikit?"

Sebenarnya apa yang dikatakan Naura adalah sesuatu yang begitu menyakitkan, tapi entah kenapa melihat bagaimana cara istrinya itu meluapkan kekesalannya mau tak mau membuatnya tersenyum. Naura dengan sikapnya yang selalu menggemaskan membuat Celo hanya bisa tertawa pelan sambil terus mendengarkan. Emosi Naura yang memang naik turun akhir-akhir ini juga membuat Celo harus sedikit menahan tawanya agar tak membuat istri kecilnya semakin kesal.

"Sayang, ada aku disini, dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Celo meraih kedua tangan istrinya, menggenggamnya lembut setelah mengecupnya singkat. "Mulai saat ini dan seterusnya kita harus bisa kuat bersama, oke?"

Naura mengangguk. "Iya, kak." balasnya, namun rasa kesalnya hanya berkurang sedikit sheingga dia kembali mengoceh tanpa sadar. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah rela kak Maura merebut kakak dariku. Aku tidak mau menjadi janda."

Celo tertawa. "Kau lebih takut menjadi janda daripada kehilanganku?"

"Tentu saja tidak. Kehilangan kakak adalah ketakutan terbesarku. Tapi ya aku juga sedikit takut menjadi janda." Naura berkata cepat, membuat Celo tertawa semakin keras. "Jika kakak pergi lalu aku menjadi janda, siapa yang akan menjadi ayah bayiku?" Naura menutup mulutnya seketika.

"Maksudmu?" Celo menghentikan tawanya, menatap istrinya bingung. Jika dia tidak salah mendengar, Naura menyebutkan kata bayi didalam kalimatnya. Ayah bayinya? Maksudnya dia---

"Ah, bukan apa-apa kak. Aku hanya asal ucap saja." Naura tertawa gugup, berpura-pura hanya bercanda. Namun Celo bukanlah orang yang mudah dibodohi apalagi oleh Naura.

Akhir-akhir ini dia cukup curiga dengan kondisi istrinya, mulai dari muntah setiap pagi hingga emosional istrinya yang naik turun sepanjang waktu. Tapi kecurigaan itu selalu dibantahnya karena mereka berencana menunda memiliki anak. Celo cukup mengerti bagaimana ciri-ciri wanita di awal kehamilan, dan cukup paham akan situasi seperti apa itu. Tapi jika dia memikirkan hal itu terjadi pada Naura, menurutnya itu hal yang tidak mungkin dan dia takut hanya akan memberikan harapan kosong untuknya.

Melihat Celo yang hanya menatapnya, membuat Naura merasa sangat gugup. Haruskah dia mengatakan tentang kehamilannya sekarang? Dia tidak mungkin memberikan alasan lain karena Celo bukanlah orang yang mudah ditipunya. Sesaat mereka berdua hanya terdiam, terlarut dalam pikiran masing-masing.

"Apa yang ingin kakak katakan?" tanya Naura, mengamati Celo yang terlihat ragu untuk berucap. Wajahnya seperti ingin mengungkapkan sesuatu tapi terlalu takut untuk mengatakan padanya. Jelas Celo terlihat sungkan dan takut kepadanya. "Aku akan menjawab semua pertanyaan yang ada di pikiran kakak sekarang dengan jujur."

Celo berdehem, entah mengapa merasa gugup. Kali ini dia cukup yakin dengan penilaiannya terhadap kondisi istrinya, ditambah dengan perkataan tanpa sengaja Naura barusan, membuat dirinya semakin merasa yakin. "Apa-apakah kau--"

Naura mengusap lembut tangan Celo yang berada di genggamannya. Dia tahu Celo takut dengan reaksinya jika pertanyaan itu diutarakannya. Bukankah begitu menggemaskan melihat suaminya yang biasanya selalu penuh percaya diri dalam melontarkan kata demi kata kini merasa sangat gugup?

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Celo menatap Naura bingung, tapi Nuara hanya menggeleng sambil membawanya duduk disampingnya. Naura menarik sebelah tangannya, menempatkannya diatas perut yang entah mengapa terasa sedikit menonjol itu. Mungkinkah--?

"Sebentar lagi, kakak akan menjadi ayah."

Ribuan kembang api seakan meledak didalam diri Celo, bercampur dengan rasa haru dan kebahagiaan yang tak mampu diukurnya saat ini. Apakah semua ini hanya mimpi atau memang benar-benar nyata? Naura tidak mungkin bercanda soal ini bukan?

"Kau serius?" Celo menatap kesungguhan di mata teduh istrinya, menemukan sebuah kejujuran dan haru yang sama seperti yang dirasakannya kini. "A-aku akan menjadi seorang ayah?"

Naura mengangguk penuh haru. Sebelah tangannya yang bebas terangkat menyeka air mata di sudut mata suaminya. Dia dapat melihat kebahagiaan yang luar biasa dimata indah itu, hingga tak lama kemudian sebuah pelukan hangat didapatnya dengan begitu erat. Sangat terasa jika Celo meluapkan semua kebahagiaannya melalui pelukan itu.

Celo melepaskan pelukannya, mencium puncak kepala, kening, pipi, dan bibir sitrinya sebelum mencium perut Naura dengan lembut berkali-kali. "Aku akan menjadi ayah." girangnya.

Naura kembali mengangguk, ikut mengusap perutnya yang tengah siusap Celo. "Halo, papa. Tadinya aku ingin main petak umpet dengan papa, tapi mama malah membuatku ketahuan." ucapnya, menirukan suara anak kecil.

"Benarkah?" Celo tertawa, kemudian menatap kearah istrinya.

"Tadinya aku ingin memberi kejutan saat hari ulang tahun kakak. Tapi aku malah tidak sengaja mengatakannya sekarang." Naura cemberut.

"Dan kau berhasil membuatku terkejut meskipun bukan di hari ulang tahunku." Celo mencubit pipi istrinya gemas. "Pantas saja selama ini kau bertingkah aneh. Berapa usianya?"

Naura berpikir sesaat, "Usianya sekarang 9 minggu. Kakak tahu? Saat aku pertama kali datang ke kantor itulah saat pertama kali aku tahu jika aku tengah hamil."

Celo berdecak, pura-pura marah. "Jadi kau sudah menyembunyikannya selama itu? Kau tega sekali membiarkan aku tidak mengetahui keberadaannya." dia kembali menunduk untuk mengusap perut Naura. "Nak, kenapa mama-mu setega itu pada papa?"

"Jangan mencoba mempengaruhinya." Naura menarik wajah Celo agar menatapnya. "Kan aku sudah bilang ingin membuat kejutan untuk kakak." katanya, cemberut.

Celo tertawa pelan lalu mencium bibir istrinya sekilas. "Iya aku tahu, sayang." katanya. "Terimakasih, karena sudah memberikan kebahagiaan ini."

Celo menatap istrinya penuh rasa, kebahagiaan, cinta, dan ketulusan yang begitu meluap. Hingga Naura sendiri tanpa sadar menetaskan air matanya, merasakan hal yang sama. "Aku akan menjaga kalian berdua dengan seluruh diriku. Aku mencintai kalian berdua."

"Kami juga mencintaimu, kak." Naura memeluk Celo erat, dan Celo pun balas memeluk. Semua kebahagiaan ini tak mampu diukur lagi oleh keduanya.

"Kak, sepertinya aku ingin es serut dengan gula jawa."

"Apa? Sayang ini sudah sangat larut."

"Tapi aku menginginkannya."

"Bisakah kita mencarinya besok saja?"

"Aku ingin sekarang, sayang."

"Kemana aku harus mencarinya malam-malam begini?"

"Mana aku tahu, kak. Pokoknya aku ingin sekarang."

"Iya, sayang. Aku akan mencarikannya untukmu. Sekarang." 

Come To You - #2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang