-[37]- Obviousness

11.9K 712 2
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

.

.

.

AZHEVADINO memerhatikan sebuah berkas yang ada di tangannya. Ia mendapatkan berkas itu saat Rian, seorang detektif kepercayaan yang ia sewa menitipkan berkas ini pada Yovan. Setelah sekembalinya Azhevadino dari perjalanan bersama dengan Amare, Mervina, dan Yovan, ia menyuruh Rudy, asisten kepercayaan lainnya selain Yovan untuk mencari kebenaran siapa orangtua kandung Amare. Tiga hari kemudian, tepatnya hari ini, akhirnya ia mendapatkan apa yang ia dapatkan. Azhevadino membuka perlahan berkas itu lalu membaca halaman demi halaman secara perlahan – lahan.


DNA Test

Rhine Daniva Marvolo 99% is Amare Rivera Marvolo's bilogical mother

DNA Test

Gerard Skandar Marvolo 0.0001% is Amare Rivera Marvolo's bilogical father


What the hell is this, rutuk Azhevadino dalam hati. Sepertinya pernyataan kekasihnya, Amare benar akan hal konyol yang Skylar utarakan. Azhevadino segera membereskan berkas – berkas itu menjadi satu. Ia pun bergegas menuju ruangan Amare. Saat dalam perjalanan menuju lift, Azhevadino melihat Yovan berada di bangku kerjanya.

"Siang ini apakah saya ada jadwal?" tanya Azhevadino.

"No, Sir. Tapi nanti jam 3 sore Anda akan rapat dengan semua Ketua Departemen untuk membahas project pembangunan resort baru di Bali."

"Baiklah, kamu handle dulu jika hingga jam setengah 3 aku tidak kunjung datang."

"Tapi, Pak. Sa-"

Yovan melihat Azhevadino yang tergesa – gesa pergi bahkan sebelum dia membalas perkataan Azhevadino. Ada apa dengan bosnya itu, batin Yovan.


Amare's POV

TOK. TOK.

Gue mendengar suara ketukan dari pintu ruangan kerja gue. Gue melihat Diana, sekertaris gue berdiri di ambang pintu ruangan gue. Ada apa ini? Perasaan rapatnya masih jam 3 nanti.

"Bu, Pak Azhe ingin bertemu dengan ibu?"

Azhe? Tumben sekali dia ingin ketemu sama gue, batin gue.

"Baiklah, suruh masuk saja."

Gue melihat Diana mengangguk lalu wanita itu keluar dan kembali dengan diikuti sosok Azhe di belakangnya. Setelah Azhe masuk barulah Diana pamit undur diri lalu menutup pintu itu kembali. Gue memerhatikan Azhe yang duduk di sofa ruang kerjanya dengan wajah gelisah lalu laki – laki itu menaruh sebuah berkas di atas meja yang terletak di depan sofa yang dia duduki.

"Jawaban yang kamu butuhkan ada di sini." Ujar Azhe.

Gue memerhatikan berkas yang ditaruh oleh Azhe lalu gue beranjak dari tempat gue dan duduk di sebelah Azhe. Gue pun langsung mengambil berkas itu dan membukanya. Gue melihat dokumen itu halaman demi halaman. Detak jantung gue semakin berdetak cepat bahkan gue bisa dengar gimana jantung gue berdetak. Gerakan gue berhenti saat gue membaca halaman terakhir dari berkas itu. Gue tersenyum tipis lalu gue segera menutup berkas itu dan gue letakkan kembali ke tempat semula. Gue memejamkan kedua mata gue. Ini nggak mungkin terjadi kan? Nggak. Pasti nggak tapi kenapa kenyataan ini masuk akal? Kalo selama ini sikap sikap Mama dan Papa yang nggak memperlakukan gue sebagai anaknya sendiri karena alasan ini, pasti sangat masuk akal, batin gue.

Gue membuka kedua mata gue saat gue merasakan pundak gue yang direngkuh oleh sebuah lengan kekar yang selama tiga hari ini sudah menemani gue. Gue melihat wajah kekhawatiran yang terpancar di wajah tampan itu. Gue pun mengusap lembut rahang tegas milik Azhe sambil tersenyum.

"I'm alright." Ujar gue sambil tersenyum

Walaupun nggak yakin kalo gue baik – baik aja tapi seenggaknya gue berusaha tersenyum untuk Azhe agar lelaki itu tidak khawatir padannggak terlalu khwatir sama gue.

"Really?"

"Absolutely. You can back to your work. Yovan bilang kamu akan ada rapat jam 3 sore."

"Ya. Aku bisa menundanya untuk menemanimu."

"No need. Kamu jangan malas – malasan gini dong. Nanti Inver makan apa?"

"Hahahaha, walaupun aku malas – malas an aku tetap kaya, Sweetheart."

"Ah, aku lupa kalau kamu seorang miliader. Tapi aku baik – baik saja, Zhe. Kembalilah."


Azhevadino's POV

"Ah, aku lupa kalau kamu seorang miliader. Tapi aku baik – baik saja, Zhe. Kembalilah."

"Kamu nanti ikut rapat kan?"

Gue menatap Ame dalam. Walau Ame bilang dia baik – baik aja entah kenapa gue merasa kalo Ame nggak baik – baik saja. Karena itu, gue menanyakan dia ikut rapat atau nggak. Kalo iya berarti dia baik – baik aja. Gue melihat Ame hanya tersenyum dan nggak menjawab pertanyaan gue. Dugaan gue benar. Ame nggak baik – baik saja. Gue ikut sakit saat gue melihat senyum tulus yang ia tunjukkan untuk gue agar gue nggak khawatir.

Gue jadi bingung. Ini Ame yang nggak baik – baik saja kenapa gue yang dihibur? Atau mungkin Ame butuh waktu untuk sendiri? Pasti. Sekarang siapa yang nggak butuh waktu setelah melihat kenyataan itu dengan matanya sendiri?

Gue pun menghela napas panjang lalu tersenyum padanya. Kemudian gue merengkuh tubuh mungil itu dengan lembut dan hati – hati. Gue luapkan segala dukungan gue dan perasaan melalui pelukan gue itu.

"I always beside you, my lady." Bisik gue.

"I know and I'm so grateful for that."

Gue pun melepaskan pelukan kami namun kedua lengan gue masih tetap merengkuh pinggang kecil itu. Hah, betapa menyenangkannya suasana seperti ini. Sepertinya gue harus memberitahu rahasia gue karena Ame sudah membuka hatinya untuk gue, batin gue.

"Jumat besok kita pulang bersama ya?" tanya gue.

"Ada apa?"

"Kita liburan bersama bagaimana?"

"Inver juga ikut?"

"Yap."

Gue menatap Ame yang tiba – tiba terdiam. Sepertinya pikiran Ame gue masih kemana – mana.

"Kalo gitu weekend besok kita liburan bersama. Aku dan Inver akan menjemputmu. Aku kembali ke ruang kerjaku dulu, Sweetheart." Putus gue langsung.

Gue tersenyum dan Ame pun tersenyum ke gue. Gue pun beranjak dari ruang kerja Ame dan meninggalkannya. Tapi entah kenapa perasaan gue mengganjal saat gue pergi meninggalkan ruangan itu. Semoga nggak akan terjadi apa – apa, batin gue.




TBC...

AMAZHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang