-[79]- Behind The Cothurnus

8.5K 421 3
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

.

.

.

"Tidak ada yang kamu sembunyikan lagi kan? Katakan semuanya padaku, Amare. Karena hanya dengan itu, kamu bisa kumaafkan atas kelakuan cerobohmu ini, Amare." Ujar Azhevadino pelan tapi tegas.

Amare melihat Azhevadino yang sedang menatapnya dengan errr rindu? Kesal? Lega? Entahlah, Amare tidak bisa menebaknya tapi yang pasti Azhvadinoe sedang marah padanya karena keputusan berisiko yang sedang ia ambil. Amare menghela napas panjangnya. Ia tidak tau harus mulai darimana menceritakan bagaimana dirinya terdampar di sini. Bahkan dia tidak tau ini di mana. Satu yang pasti Marleon dan Mandy memindahkannya lagi. Karena gudang yang saat ini ditemukan Azhevadino dan Amaro berbeda dengan gudang waktu dia di sekap di hari awal.

"Baiklah, tapi aku harus cerita dari mana?" tanya Amare.

"Ceritakan kejadianmu setelah kamu menelpon Bang Aro."

Amare menarik napasnya lalu menghembuskannya perlahan. Here we go.


FLASH BACK ON

Amare menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Ia segera turun saat melihat Mandy turun. Tunggu dulu, bukannya dia mau ke Depok ya trus ini di mana, pikir Amare. Amare tetap mengawasi Mandy sekaligus mengawasi sekelilingnya. Ia melihat Mandy yang tiba – tiba berbelok kanan ke sebuah gang kecil. Amare pun juga berbelok beberapa detik kemudian lalu ia terkejut dengan kehadiran dua orang laki – laki bertubuh kekar yang berdiri di sisi Mandy. Ia melihat Mandy tersenyum sinis padanya.

"Well, well, lo terjebak Amare. Ciao."

Belum sempat Amare beraksi salah satu laki – laki dari kedua laki – laki itu membekapnya dengan sebuah sapu tangan dan pandangannya pun lama kelamaan menggelap. Amare mendengar beberapa langkah kaki mendekatinya dan ia pun mulai sadar perlahan – lahan. Anehnya pandangannya masih gelap. Ah, penutup mata, pikir Amare. Amare berpura – pura belum sadar saat suara langkah kaki itu mendekat.

"Good job, Mandy." Ujar seseorang dengan suara bariton yang entah mengapa sepertinya Amare mengenali suara bariton itu.

"Seperti kesepakatan kita. Biar gue yang urus." Ujar suara bariton itu lagi.

"What?! Tapi gue punya dendam sama dia." Ujar suara cempreng yang Amare yakin itu adalah Mandy.

"Yakin? Bukannya lo aja yang nggak becus menjaga cowok lo? Lo sebaiknya jaga sikap lo karena gue sudah bersusah payah membantu lo dan keluarga bodoh lo itu kabur."

"Errrrr, fine."

Amare mendengar suara hentakan sepasang high hills yang dipakai Mandy itu menjauh. Lalu ia mendengar suara gesekan sepatu kets yang mendekati dirinya.

"Well, kita ketemu lagi My Amare." Ujar suara bariton itu.

Amare ingat, itu adalah suara Marleon. Ya. Tidak salah lagi. Marleon Franco Swift, mantan pacar pertamanya. Shit, kenapa dia bisa di sini, pikir Amare. Amare merasakan badannya diangkat seseorang lalu orang itu mendudukannya di sebuah kursi. Ia juga mendengar suara gesekan tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu penutup matanya pun terbuka. Cahaya lampu menyilaukan penglihatannya namun setelah sepasang mata kelabunya beradaptasi, Amare melihat jelas sosok Marleon di hadapannya.

"Hello, Sweety. We meet again." Ujar Marleon dengan seringaian nakal yang sangat Ame kenali.

"Leon ba-bagai-"

"Bagaimana bisa aku di sini? Well, kita akan bahas sekarang. Tenang saja, aku akan perlahan – lahan memilikimu. Yang terpenting saat ini adalah memiliki hatimu dulu, Sweety."

Amare bergidik ngeri saat Marleon memanggilnya dengan sebutan Sweety. Mungkin setelah ini, ia akan merasa jijik jika ia dipanggil dengan panggilan Sweety.

Beberapa hari berlalu dan Amare bersyukur Marleon tidak melakukan apa – apa padanya. Bisa dibilang mereka hanya berbincang saja. Masalahnya ada pada Mandy. Cewek itu selalu menamparnya bahkan menyiramnya dengan air dingin saat Amare tidak dalam pengawasan Mareon. Hingga akhirnya, saat Marleon melihat kekerasan fisik yang dilakukan Mandy padanya, Amare tidak melihat Mandy lagi. Amare melihat Marleon berjalan menuju dirinya sambil membawa nampan yang berisi makanan. Laki – laki itu duduk di hadapannya dan menyuapi Amare, keseharian yang selalu Marleon lakukan pada Amare.

"Sepertinya orang suruhan laki – laki sialan itu berhasil melacak kita."

Amare terdiam, ia menatap Leon yang saat ini sedang memberikan senyum tipisnya.

"Kakakmu berhasil menemukanmu dan sekarang saatnya kita pindah tempat persembunyian, Sweety."

Belum sempat Amare bereaksi, tiba – tiba saja hidungnya telah dibekap dengan sapu tangan yang Amare yakini sapu tangan itu mengandung obat bius dan pandangannya pun menggelap. Amare sudah tidak sadarkan diri.

Amare mulai membuka kedua matanya perlahan – lahan dan rasa pening langsung menjalar ke seluruh bagian kepalanya. Ia melihat ruangan yang hanya dilapisi semen dan sepertinya bangunan itu sudah tidak terpakai. Ia melihat sebuah pintu alumunium dan beberapa barang yang sudah tidak terpakai. Sepasang mata kelabunya tertarik dengan sebuah tongkat bisbol yang tergeletak di ruangan itu. Sekarang tinggal gimana gue harus melarikan diri, pikir Amare.

FLASH BACK OFF


Azhevadino's POV

Aku terdiam setelah mendengarkan cerita Ame. Diam – diam aku mengepalkan kedua tanganku. Aku memerhatikan wajah Ame yang memiliki beberapa lebam akibat tamparan dari Mandy. Mandy sialan, dasar wanita jalang, rutukku. Aku pun mengelus salah satu pipi Amare dengan lembut.

"Aw." Rintih Ame.

"Aku akan membalas apa yang telah mereka perbuat padamu, Sweetheart."

"Melalui hukum kan?"

Aku hanya tersenyum pada Ame. Sepertinya dengan melalui hukum saja aku nggak akan puas setelah melihat perbuatan keji yang dilakukan Leon, Mandy dan keluarganya. Mungkin kejatuhan perusahaan Swift akan sangat memuaskanku dan menghapus Mandy dan keluarganya dari Marvolo juga sangat memuaskanku. Kita lihat saja nanti.

"Azhe?" ujar Ame

"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan kekerasan fisik seperti mereka melakukannya terhadapku, okay."

Setidaknya bukan aku Ame tapi anak buahku karena aku tidak ingin mengotori kedua tangan suciku.

"Baiklah kalo gitu. Hah, nyamannya."

Aku memerhatikan Ame yang menyandarkan kepalanya di pundakku dan kedua lengan gadis itu yang memeluk lenganku. Sudah lama kami tidak bercengkerama seperti ini. Tujuh hari ternyata lama juga.

Aku tersenyum lalu mengecup kening Ame lalu aku mengelus lembut kepala Ame. Aku mendengar napas Ame yang mulai teratur dan aku melihat kedua mata Ame yang terpejam. Amare-ku tertidur pulas. Aku pun menggendong Ame ala bridal secara perlahan – lahan agar Amare-ku tidak terganggu tidurnya.

"Have a nice dream, my lady." Ujarku dengan nada selembut mungkin




TBC...

AMAZHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang