-[14]- The Black List

24.1K 1.4K 6
                                    

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

.

.

.

AMARE pasrah saja saat ditarik Rhinvero memasuki rumah yang mewah itu. CKLEK. Amare terdiam di tempatnya saat ia melihat sosok wanita paruh baya berdiri di ambang pintu masuk mansion mewah itu. Rhinvero sekuat tenaga menarik Amare tidak bergeming juga dari tempatnya hingga malaikat mungil itu menyerah dan bersandar di kaki Amare untuk mengatur napasnya yang ngos – ngosan.

"Ternyata kamu yang namanya Amare. Azhe sudah menghubungi Bunda, katanya kamu mau datang ke sini. Masuk yuk."

Dengan kikuk dan tersenyum semanis mungkin Amare mengikuti wanita paruh baya itu sambil menggendong Rhinvero yang terlihat sangat kecapekan.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Azhe."

"Y-ya? Semuanya Tante?"

Anggi, wanita paruh baya itu tersenyum pada Amare. Dilihat sekilas, Anggi merasa Amare perempuan yang baik – baik tidak seperti perempuan sebelum – sebelumnya yang berusaha mendekati anak semata wayangnya, Azhevadino.

Anggi pun menggiring Amare untuk duduk di ruang santai. Amare dengan susah payah mendudukan Rhinvero senyaman mungkin di atas pangkuannya karena malaikat mungil itu tidak mau jauh – jauh darinya. Anggi sangat bahagia melihat cucu kesayangannya dekat dengan orang lain selain dirinya dan Azhevadino.

"Sepertinya Inver sangat menyayangimu ya?"

Amare tersenyum pada Anggi lalu pandangannya beralih pada Rhinvero sambil mengelus lembut kepala Rhinvero. Rhinvero sendiri sudah memeluk Amare dan kepalanya disandarkan di dada Amare dengan nyamannya.

"Aku juga tidak tahu, Tan. Kenapa Inver bisa sesayang ini denganku?"

"Panggil, Bunda saja, Me."

"Tapi Tan-"

"Tidak ada tapi – tapi an."

"Baiklah, kalo gitu."

"Hati Inver dan pandangan Inver kepada orang itu sangat polos. Karena itu, dia tidak mudah didekati dengan orang lain."


Amare's POV

Gue melihat langit – langit berwarna biru langit itu lalu pandangan gue beralih ke Inver yang sudah tertidur pulas di sisi kanan gue. Gue pun mengubah posisi badan gue menjadi miring ke kanan menghadap ke Inver.

"Kamu ganteng, lucu, imut. Sayang punya Ayah yang jutek, datar, dan seenak jidatnya sendiri."

Gue tersenyum lagi sambil memandangi wajah Inver yang ganteng maksimal, Bradd Pit sama Tom Cruise mah kalah jauh. Gue menyugar rambut Inver dengan perlahan dan lembut. Hah, gue akuin gue kangen berat sama Inver padahal baru juga tiga hari nggak ketemu. Gerakan gue terhenti saat tangan Inver mengucek – ngucek kedua matanya. Gue tersenyum saat sepasang deep choco itu memandang gue dengan polosnya.

"Inver masih ngantuk?" tanya gue.

Inver hanya mengangguk dan malaikat kecil itu mendekati gue dan meluk gue. Gue pun membalas pelukan Inver dan mendekap tubuh mungil itu di pelukan gue. Gue tepuk – tepuk pantat Inver dengan pelan dan lembut dan tangan yang satunya membelai lembut punggung Inver. Nggak berapa Inver tertidur lagi. Sepertinya dia kecapekan, batin gue.

Setelah gue memastikan kalo Inver udah benar – benar tidur gue pun beranjak dari kasur perlahan – lahan biar Inver nggak kebangun. Gue melihat Bunda Anggi sedang berkutat dengan sebuah adonan kue saat gue menginjakkan kaki gue ke ruang keluarga.

"Ah, kamu di sini ternyata. Inver sudah tidur?"

"Iya, Bunda. Inver sudah tidur. Bunda lagi ngapain?"

"Ini lagi nyoba buat brownies panggang. Minggu lalu Bunda nyoba buat nggak berhasil sekarang mau nyoba lagi."

"Ame boleh bantu Bun?"

"Kamu bisa masak?"

"Iya, bisa."

"Yaudah sini bantu Bunda. Bunda buat toppingnya kamu buat kuenya ya?"

"Siap Bunda."


Azhevadino's POV

Gue melonggarkan dasi gue setelah sampai di dalam mobil. Pertemuan tadi cukup alot karena rekan bisnis gue yang satu ini sangat keras kepala. Itu pun belum mencapai kesepakatan di pertemuan tadi. Besok juga masih harus bertemu lagi.

Gue memandang ke sisi kanan gue dan terlihat Yovan yang sibuk dengan macbook miliknya. Entah apa yang sedang ia kerjakan. Gue akui kalo sebagai asisten kinerjanya bagus, sangat bagus malah. Tapi kenapa dia ngeselin banget ya kalo udah dalam mode teman.

"Ini udah di luar jam kerja. Sekarang gue mau bicarakan soal Ame."

"Bicara apa lagi? Toh lo juga udah tau kalo perempuan yang Inver panggil Bunda itu Ame."

"Ya, gue tau. Akhirnya. Entah gue harus mengumpat atau sujud syukur. Kalo bukan karena gue harus datang ke pertemuan sialan ini, gue pasti nggak bakal tau siapa Bunda yang dimaksud Inver sampai Ame pensiun. Lo kok licik banget sih. Temen lo sendiri bantu lah."

"Soal teman, gue lebih setia ke Ame dibanding lo. Karena Ame gue bisa ketemu jodoh gue, Vina."

"Bangke lo. Sahabat macam apa ini hah?!"

"Udah lah. Nggak usah mutar muter. Ada hal lain kan yang mau lo tanyakan?"

"Ya. Kenapa lo sampai teganya nggak bantu gue hanya karena ingin merahasiakan identitas Ame?"

"Karena status lo."

"Status gue? Gue kan pengusaha sukses, no problem dong."

"Kalo status lo yang itu mah semua cewek mau Dodol. Yang gue maksud status lo yang satunya."

"Status gue yang mana la-"

Gue menghentikan perkataan gue. Tiba – tiba gue teringat dengan sosok Inver. Ya, gue punya satu status lagi. Seorang duda.

"Apa salahnya dengan duda?"

"Justru itu, Zhe. Duda itu udah urutan pertama di black list miliknya."

Black list? Artinya duda itu hal yang paling dia benci dong? Ganteng? Gue ganteng banget lah. Kaya? Sampai sepuluh turunan juga nggak bakal bangkrut. Keren? So pasti lah. Sexy? Punya 8 roti di perut gue ini jelas sangat sexy belum badan gue yang atletis dan tinggi buat ukuran cowok Indo dan hanya karena status duda gue, gue tersingkir dari kriteria suami idaman Ame?




TBC...

AMAZHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang