-[38]- The Summons

10.9K 587 0
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

.

.

.

AMARE menatap kembali berkas yang tergeletak di meja kerjanya. Gadis itu jadi teringat akan pertemuannya dengan Mervina kemarin setelah pulang kerja. Dia tersenyum saat mengingat bagaimana jerih payahnya Mervina menyelidiki masalah yang saat ini ia alami. Walau Azhevadino terlambat satu langkah dari Mervina tapi Amare sangat berterima kasih dengan perjuangan Azhevadino. Karena itu, dia tidak memberitahu jika dirinya sudah mengetahui kenyataan itu lebih cepat.

Amare mengira jika data yang Mervina tunjukkan berbeda dengan Azhevadino pasti dia akan melakukan tes lagi. Tapi sahabatnya dan kekasihnya itu menunjukkan hasil yang sama.


FLASH BACK ON

Mervina dan Amare duduk berhadapan di bangku dekat jendela Pleasure Cafe itu. Amare sesekali menyesap Green Tea Latte Frappucino miliknya sambil memandangi Mervina yang nampak gelisah di tempat duduknya.

"Jadi lo mau ngomong apa sama gue, Vin?"

Mervina mengambil napas dalam – dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lalu ia mengeluarkan sebuah berkas dan meletakkannya di atas meja. Ia pun menatap Amare.

"Pertama – tama gue mau minta maaf sama lo."

"Kenapa minta maaf?"

"Karena gue lagi menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan lo tanpa meminta izin lo."

"Lo? Lo apa? Menyelidiki gue? Lo kok-"

"Gue terpaksa, Amare. Gue terpaksa melakukannya karena gue ingin melihat lo bahagia dan membantu untuk menemukan jawaban atas kegundahan lo selama ini."

"Baiklah, soal apa itu?"

"Orangtua lo."

"Lo?! Lo bagaimana bisa tahu?"

"Gue tau karena melalui ekspresi lo gue tau apa yang selama ini membuat lo kepikiran sehingga gue tau alasan lo gundah selama ini."

Amare terdiam. Ia tidak menduga jika rahasianya ini telah diketahui Mervina sudah sejak lama.

"Dan gue tidak sengaja menguping perdebatan orangtua lo waktu di Bandung."

"Lo ada di sana juga?"

"Ya."

Amare terdiam lagi. Sepertinya Mervina sudah masuk terlalu jauh ke dalam masalahnya. Ia tidak bisa menyalahkan Mervina karena ia tahu alasan sebenarnya tentang Mervina melakukan semua ini.

"Ini bukti – bukti tentang kedua orangtua lo. Gue harap berkat dokumen ini, lo bisa pergi dengan bebas. Gue pulang dulu. Gue tau lo butuh waktu sendiri karena itu gue akan pulang dulu an setelah memberikan dokumen – dokumen ini ke elo."

Mervina beranjak dari tempatnya. Amare menatap nanar berkas yang ada di atas meja itu. Ia pun perlahan – lahan membuka berkas itu. Ada beberapa halaman di dalam berkas itu. Ia pun membaca satu per satu berkas itu. Lalu gadis itu segera menutupnya setelah membaca halaman terakhir. Amare menyandarkan punggungnya sambil memejamkan kedua matanya. Air mata mengalir di kedua sudut matanya. Lega, kecewa, senang, sedih, marah, semua emosi itu menjadi satu dan ia merasakannya.

FLASH BACK OFF


Amare menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Ia memejamkan kedua matanya lalu menarik dan menghembuskan napasnya berulang kali. TOK. TOK. Amare membuka kedua matanya. Ia melihat Diana memasuki ruangannya dan berjalan mendekatinya. Diana memasuki ruangan itu sambil membawa sebuah amplop putih yang ditujukan untuk Amare, atasannya.

"Ada apa, Di?"

"Ini, Bu. Ada surat panggilan dari Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat."

Diana nampak khawatir dengan amplop yang dibawanya. Ia tahu jika atasannya sangat kompeten dan tidak pernah berbuat jahat bahkan Diana sangat menghormati atasanya itu. Jika ia dilahirkan kembali, ia dengan senang hati akan berkerja lagi di bawah kepemimpinan Amare.


Amare's POV

"Ini, Bu. Ada surat panggilan dari Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat."

Pengadilan Tinggi? Gue berusaha mengingat tentang masalah yang gue perbuat atau pernah dipanggil polisi selama akhir – akhir ini. Ah, benar. Ayahnya saat itu bilang ingin mengambil jalur hukum untuk mendapatkan haknya kembali. Tapi kenapa nggak bilang ke dirinya terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menempuh jalur hukum, batin gue.

"Baiklah. Taruh saja di meja saya. Setelah itu kamu bisa kerja kembali, Di."

Gue melihat Diana meletakkan amplop itu di atas meja kerja gue. Anehnya Diana nggak kunjung beranjak dari tempatnya. Gue melihat raut wajah Diana yang nampak gelisah saat berdiri di tempatnya.

"Apakah ada hal lain yang ingin kamu sampaikan, Di?"

Gue melihat Diana menatap gue dengan raut wajah khawatirnya.

"Ibu tidak ada masalahkan?"

Gue tersenyum. Entah kenapa kekhawatiran Diana yang ditunjukkan untuk gue itu sangat menghibur gue dan kegundahan gue berkurnag walau sedikit.

"Tenang saja. Saya tidak ada masalah soal pidana dan semacamnya. Mungkin ini panggilan untuk saya sebagai saksi."

"Syukurlah kalau begitu. Kalau Ibu ada masalah, ada saya, Bu. Saya siap membantu Ibu."

"Aku tahu. Sekarang kembalilah dan tolong. Utus Indra menggantikan saya untuk rapat jam 3 nanti. Saya ada urusan pribadi."

"Baik, Bu. Ada lagi?"

"Tidak. Kamu bisa kembali ke meja kerjamu."

"Baik, Bu."

Gue segera membuka amplop itu setelah Diana menutup pintu ruang kerja gue.


Yang Terhormat Nona Amare Rivera Marvolo,

Kami, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat memohon kehadiran Nona sebagai saksi atas Kasus Perdata yang dialami oleh Bapak Gerard Skandar Marvolo dan Nyonya Linda Dian Marvolo pada:

Hari/Tanggal : Selasa, 14 Agustus 2018

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang 301, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat

Atas perhatian Nona, kami ucapkan terima kasih.


Gue menghela napas panjang. Akhirnya hari yang sama sekali nggak gue nantikan akan datang dan gue nggak nyangka akan secepat ini. Gue nggak tau apa yang nanti akan terjadi di dalam sidang itu. Untung saja, guee sudah mempersiapkan segalanya setelah berkas – berkas yang Vina dan Azhe berikan ke gue. Gue nggak ingin menjadi boneka mereka lagi. Gue akan berdiri sendiri sesuai kemauan gue. Mulai detik ini.




TBC...

AMAZHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang