-[54]- Hugger - Mugger Part 2

8.9K 532 3
                                    

Budayakan klik BINTANG dulu (VOTE) sebelum membaca

Jangan lupa tinggalkan VOTE dan COMMENT kalian yaaa plus minta tolong rekomendasikan cerita ini 😁😁🤗

Happy reading all ^_^

.

.

.

.

.

.

.

Mulai part 53 dan 54 akan menceritakan masa lalu Rhinvero dan Azhevadino


AZHEVADINO menunggu di luar bersama dengan Anggi, Bundanya. Laki – laki itu bisa mendengar teriakan Azhevadina yang menggelegar dari luar ruangan persalinan. Akhirnya tak berapa lama suara tangisan bayi terdengar dan beberapa menit kemudian Dokter Rini yang bertanggungjawab sejak awal kehamilan Azhevadina keluar untuk menemui Anggi dan Azhevadino.

"Selamat ya, Jeng. Cucunya sehat kok." Ujar Dokter Rini.

"Makasih ya, Jeng. Eh, bukan, Dok." Ujar Anggi sambil tersenyum dan menahan tangis bahagianya.

"Kamu juga cepet nyusul, Zhe. Kasihan ibumu nanti sendirian sama kamu terus."

"Hahahaha, iya Tante."

"Yaudah, kalian boleh masuk."

Azhevadino dan Anggi masuk ke ruang persalinan itu. Azhevadino melihat Aaron memeluk Azhevadina dari samping dan seorang bayi mungil berada di rengkuhan Azhevadina. Azhevadino juga melihat tangis kebahagiaan yang ditunjukkan Azhevadina, kakak kembarnya dan juga Aaron, kakak iparnya. Azhevadino mendekati pasangan suami istri itu. Pandangannya teralihkan pada bayi mungil yang berkeriput dan berwarna merah muda itu. Jelek sekali lah.

"Kamu mau menggendongnya, Zhe?" tanya Azhevadina.

"Beneran boleh?"

"Iya, tapi hati – hati ya." Ujar Azhevadina.

Azhevadino pun menggendong bayi mungil itu dengan lengannya. Ia tidak bisa memercayai bayi mungil ini bisa hidup dalam kehidupan ini dan bertahan di dalam rahim selama 9 bulan. Azhevadino perlahan – lahan menyentuh tangan bayi mungil yang meraba – raba itu dengan jari telunjuknya. Tangan mungil itu menggenggam jari telunjuknya cukup kuat. Azhevadino sangat takjub hingga tanpa ia sadari air matanya menetes dari kedua matanya.

"Hiiii, Azhe nangis nih yeee." Goda Azhevadina dengan wajah kelelahan dan pucatnya.

"Ssssst, diam dah lo."

"Rhinvero Candour Kennedy. Bagus kan namanya?" tanya Aaron

"Iya, Kak. Bagus banget."

Azhevadino lalu memandangi bayi mungil yang ada di dalam gendongan dengan tatapan takjub dan anehnya tiba – tiba bayi itu tersenyum padanya. Tampan sekali, nggak jadi jelek deh.


Satu tahun berlalu semenjak kelahiran Rhinvero....

Azhevadino mengendarai mobilnya dengan kecapatan tinggi. Ia tidak percaya dengan berita yang baru saja beberapa menit lalu ia dengar dari Bundanya. Tanpa babibu lagi, Azhevadino memarkir mobilnya di depan lobby rumah sakit itu dan memberikan kunci mobilnya pada penjaga keamanan yang memang sudah menanti kehadirannya. Ia berjalan semakin cepat lalu ia melihat sosok ibunya yang menggendong seorang anak kecil sambil menangis. Lucunya anak kecil itu malah tertidur. Tertidur dengan lelap dan tenangnya seolah – olah tidak terjadi apa – apa.

"Bundaa."

"Azhe? Kamu kah itu?"

"Iya, Bun. Ini Azhe. Bunda istirahat dulu gimana? Biar Adam dan Marla yang menemani Bunda. Mereka sudah menunggu Bunda di ruang VIP Keluarga."

Azhevadino melihat kepergian Bundanya itu. Ia melihat punggung wanita paruh baya itu yang sangat rapuh padahal selama ini wanita itu selalu memperlihatkan punggungnya yang kokoh. Azhevadino pun memasuki ruang kremasi mayat. Ia melihat sosok Azhevadina, kakak kembarannya yang sudah bersih dan memakai gaun putih dan sedangan Aaron, kakak iparnya terbaring di sebelah Azhevadina dengan memakai celana hitam kain dan juga kemeja putih. Muka sepasang suami istri memang bersih namun masih ada beberapa luka yang membekas dan kedua tangan mereka pun juga begitu.

Azhevadino pun mendekati keduanya lalu menyentuh tangan mereka secara bergantian. Dingin tanpa kehangatan. Azhevadino terduduk di lantai. Laki – laki itu duduk terjatuh dan ia menangis dalam diam. Air matanya semakin mengalir bersamaan dengan kilatan kenangan yang ia ingat bersama Azhevadina dan Aaron. Kehangatan itu hanya kenangan.

"Kenapa kalian tidur begitu? Kalian harus bangun. Inver masih membutuhkan kalian." Ujar Azhevadino sambil terisak.

Tidak ada jawaban dari Azhevadina maupun Aaron. Keduanya kompak tidak menjawab Azhevadino. Sungguh pasangan yang saling mencintai karena mereka berdua saling kompak dalam melakukan sesuatu.

"Zheva? Ti-tidak. Mbak Zheva? Itu kan yang mau lo dengar? Gue akan manggil lo Mbak Zheva mulai sekarang jadi ayo bangun sekarang jugaaaa!" teriak Azhevadino.

Sebuah rengkuhan lengan merangkul pundak Azhevadino lalu mencoba menenangkan Azhevadino.

"Zhe, tenanglah. Zheva dan Kak Aaron pasti nggak ingin melihat lo seperti ini."

"Tapi mereka sudah ingkar janji, Adam. Janji? Bullshit."

"Azhe, sadar. Semua itu karena kehendak Tuhan." Ujar Adam dengan nada tegas

Azhevadino menjadi tersadar dan ia terdiam. Adam menghela napasnya, ia sebenarnya merasa miris melihat sahabatnya itu dan juga Bundanya, Anggi seperti ini.

"Kamu harus kuat demi Inver. Untuk masalah hak asuh Inver sudah aku tangani karena dari wasiat Zheva dan Aaron meminta kamu yang mengurus Inver jika Inver belum menginjak usia dewasa saat mereka meninggal. Inver akan diberikan nama keluarga Müller. Jadi bertahanlah demi Inver."

Ya. Bertahanlah demi Inver, Azhe.

Azhevadino terkesiap saat mendengar bisikan suara kembarannya itu. Sepertinya dia tidak bermimpi. Azhevadino menyeka air matanya dan ia menatap lekat – lekat sepasang istri dan suami yang terbaring kaku dan pucat di hadapannya. Gue akan bertahan demi Inver, batin Azhevadino.

Malam itu Azhevadino Kaleigh Müller menutup hatinya untuk wanita mana saja yang tidak bisa membahagiakan Rhinvero. Karena, malam itu seorang Azhevadino akan bertahan hanya demi Rhinvero dan juga Anggi, Bunda Tersayangnya.



TBC...

.

.

.

Permintaan maafku karena absen selama satu bulan

See yaaa ^_^

AMAZHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang