Semenjak kejadian saat ospek dadakan, nama Regina menjadi terkenal sefakultas. Ceweknya Theo, mereka bilang. Berapa kali Regina bilang kalau rumor itu tidak benar pun tidak ada yang mau dengar. Lalu Theo, cowok itu bahkan tidak berniat untuk meluruskan.
“Regina, Kak Theo udah nungguin di parkiran,” lapor Rian yang sebenarnya sangat tidak penting untuk Regina. Berwajah masam, cewek berambut panjang itu menjatuhkan pantatnya kembali ke kursi. Ketemu mantan di jalan aja bikin males, apalagi ini ditungguin mantan setiap pulang.
“Beby! Mau kemana?”
“Ngeprint tugas.”
“Ikuuttttt,” seru Regina dan langsung tancap gas menggandeng Beby. Sip, ada alasan mengulur waktu. Kalau bisa sampe si Theo balik duluan deh.
Tempat fotokopi yang berada di belakang kampus, agak tersembunyi di jalan setapak dan bersebelahan dengan lahan kosong yang rimbun semak membuat tempat tersebut agak horror tapi paling enak buat dijadikan tongkrongan rokok. Melihat peluang tersebut, si pemilik fotokopi akhirnya membuka jasa jual kopi yang tempat duduknya langsung dibibir parit. Agak jorok memang tapi tempat seperti itulah yang disukai mahasiswa.
Karena hanya Beby yang berkepentingan di fotokopi tersebut, Regina cuman bisa menunggu dan celingak-celinguk sesekali melihat koleksi jualan kaos kaki di depan pintu. Ia bisa mendengar percakapan dari beberapa mahasiswa yang nongkrong sambil ngopi.
“Emang tugas apaan dah yang lo print?” tanya Regina. Beby, si maba beda prodi, menjawab, “Bahasa Indonesia. Dosennya ribet, mesti diprint segala. Eh, tuh Kak Theo kesini.”
Sontak Regina langsung mengalihkan pandangannya. Benar aja si mantan datang kesini dan dengan santainya menyapa mahasiswa yang nongkrong sebelum menghampiri dirinya.
“Aku nungguin di parkiran, tapi kamunya gak dateng-dateng. Trus si Nathan ngechat kalo kamu ada disini,” jelas cowok itu tanpa Regina pinta. Cewek itu melirik pada mahasiswa yang nongkrong dan baru sadar bahwa salah satunya adalah teman mapalanya Theo.
“Banyak banget tugas yang harus diprint?” tanya Theo yang langsung dijawab Beby, “Dia gak ngeprint apa-apa, Kak. Itu tugas-tugas aku.”
Beby bego.
“Oh, kalo gitu gak papa kan kalo ditinggal?” tanya Theo lagi yang juga langsung diberi anggukan oleh Beby. “Yaudah, yuk! Aku laper!”
Theo menarik lengan Regina untuk berjalan berdampingan, namun segera Regina lepas paksa.
“Theo, aku mau pulang sendiri aja,” katanya agak takut. Ucapan cewek itu tentu tidak diindahkan oleh ketua mapala itu. Lengannya kembali di raih Theo dan kali ini dengan cengkraman yang kuat. Regina meringis kesakitan.
“Theo…”
“Kamu tahu sendiri kan kalo kamu gak bisa lepas dari aku, hm?”
“Theo, tapi gak disini…”
“Kalo kamu tahu aku nunggu kamu, harusnya kamu cepet datang bukannya malah bikin aku nunggu lama.”
“Theo…”
Regina hanya bisa pasrah diseret oleh cowok berbadan kurus namun berotot karena kegiatan mapalanya ke dalam mobil. Tentu saja hal itu tidak lepas dari pandangan mahasiswa lain yang kebetulan berada di parkiran juga. Beberapa dari mereka bahkan berbisik dengan lantang, membicarakan kemesraan mereka seperti yang selalu Theo tunjukkan selama ini. Memperkuat rumor bahwa Regina satu-satunya cewek yang berhasil menaklukan Theodore Kaska.
Theo membuka pintu penumpang dan mempersilahkan Regina masuk duluan. Di dalam mobil, Regina hanya bisa diam sambil memeluk tasnya erat. Begitu cowok itu pun masuk, tangannya mendarat cepat pada pinggir Regina, menarik tali seatbelt cewek itu dan memasangnya. Jika ada yang melihat ini pasti akan memuji Theo sebagai seorang gentleman tapi bagi Regina perlakuan tersebut ingin ia hindari.
Tidak merubah posisinya, kini wajah Theo berada sangat dekat dengan wajahnya. Regina bisa merasakan harum mint yang menyapu kulit wajahnya.
“Gina. Regina.”
Bulu kuduknya merinding ketika namanya diucapkan oleh Theo. Jemari panjang cowok itu mengelus lembut pipinya.
“Aku yang gak bisa lepas dari kamu, paham?”
Theo tersenyum. Lalu mengecup sekilas pipi Regina.
Ada alasan kenapa Regina memutuskan hubungan mereka ketika SMA dulu.
Theodore, cowok itu penuh obsesi dan toxic.