Enam bulan setelah pernikahan. Joohyun sangat stress.
Bukan karena kehidupan Bersama Seokjin, tapi tekanan yang ia dapat setelah hidup bersama Seokjin. Awalnya ia pikir ancaman waktu itu hanya main-main. Mereka memang bercinta, tetapi dengan Seokjin sebagai pemegang kendali sehingga tidak ada pertemuan yang berbuah. Joohyun sampai menebak apakah Seokjin seorang impoten yang malu untuk mengaku, lalu mendapat tawa keras dari lelaki itu.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Orangtuamu sudah menginginkan cucu?" Seokjin tertawa geli.
Joohyun menatap lelaki itu tak habis pikir. Bagaimana bisa dia tertawa santai sedangkan dirinya sudah didesak oleh orangtua Seokjin untuk segera memiliki momongan. Andai saja ia bisa berteriak pada orangtua itu bahwa ini bukan kemauannya, melainkan anak lelakinya yang mempermainkan pernikahan suci ini. Ah, seandainya Joohyun memiliki kuasa untuk menyerukan itu.
"Kau mau kemana?" tanya Seokjin ketika Joohyun melangkahkan pergi.
"Belanja."
"Aku ikut. Ada yang ingin kubeli juga."
Joohyun menghentikan kakinya sebelum berbalik memandang Seokjin kesal. Mengapa lelaki ini tidak sadar bahwa ia ingin sendiri dan menenangkan hatinya setelah dihina seperti tadi?
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Seokjin meraba-raba bajunya dengan bingung. Joohyun menghela nafas panjang. Menambah stress saja. "Terserah," desis Joohyun dan meninggalkan Seokjin yang masih merasa ada sesuatu dibajunya.
###
Joohyun sibuk memilah lemon yang akan dibeli, sedangkan Seokjin yang bertugas mendorong troli menatap bosan. Sudah menjadi kebiasaan Joohyun untuk bertanggung jawab atas isi kulkas dirumah, apalagi setelah menikah. Wanita itu bebas mengisi kulkas dengan apa saja yang ia inginkan.
Sebenarnya ia juga mengerjai Seokjin yang ternyata hanya membeli camilan ringan yang sebenarnya bisa dititipkan padanya tanpa harus lelaki itu ikut pergi juga. Kalau dipikirkan terus semakin membuat Joohyun ingin berlama-lama memilah lemon yang bentuknya sama semua.
"Oh, Joohyun?"
Panggilan itu membuat pasangan tersebut menoleh.
"Danny?" balas Joohyun tak kalah terkejut.
"Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini!" Danny, orang yang memanggil Joohyun mendorong troli mendekat, lalu memeluk wanita itu erat. Pelukan Joohyun juga tidak kalah erat mengingat mereka berdua sangat dekat ketika kuliah di Amerika. "Kau semakin cantik saja. Maaf aku tidak bisa hadir dipernikahanmu," sesal lelaki itu, kemudian membungkuk kecil pada Seokjin, menandakan bahwa ia menghormati kehadirannya.
"Jangan dipikirkan. Kesehatan Ibumu lebih penting, lagipula kau sudah memberiku hadiah," kilah Joohyun, terlalu bersemangat karena sudah cukup lama mereka tidak bertemu. "Kenalkan, ini suamiku, Kim Seokjin. Dan ini Danny, teman dekatku ketika kuliah."
Danny mengulurkan tangannya, lalu teringat bahwa itu bukan tradisi di Korea jadi ia tarik kembali dengan malu. "Santai saja," kata Seokjin yang justru mengulurkan tangannya duluan, menghormati kebiasaan Danny yang memang bukan orang Korea. "Kim Seokjin."
"Danny."
"Apa yang membawamu kesini?" tanya Joohyun antusias.
"Aku mewakili instansiku untuk mengikuti penelitian," jawab Danny, lalu mengecek jam tangannya. "Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama. Bagaimana jika aku meminta kontakmu? Mungkin kapan-kapan kita bisa berbincang panjang."
Joohyun mengangguk dan menerima uluran ponsel Danny, lalu men-dial ke ponselnya. "Hubungi aku jika kau kosong ya. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu."
Tak lama setelah itu mereka berpisah. Seusai pertemuan dengan Danny membuat senyum diwajah Joohyun tidak hilang. Hampir tiga tahun ia menyelesaikan kuliahnya dan langsung bertolak ke kampung halaman. Komunikasi mereka sempat berjalan sekitar tiga bulan dan terhenti karena kesibukan masing-masing. Bertemu dengan Danny seperti menyembuhkan kejengkelannya hari ini. Joohyun berjanji akan mengajak Danny untuk bertemu lagi.
"Berhenti tersenyum seperti itu. Cepat, kakiku pegal!"
Senyum manis itu menghilang dari wajah Joohyun. Menyebalkan.
###
"Memangnya kau kuliah jurusan apa?" buka Seokjin dalam perjalanan pulang setelah Joohyun dipaksa untuk menunggu lelaki itu memilih xbox yang menurut Joohyun sama saja. Perbedaannya hanya di warna.
"Farmasi," jawab Joohyun singkat.
Nampaknya Seokjin agak terkejut mendengar hal tersebut. "Serius? Tapi kau tidak pernah menyampurkan cairan-cairan berbahaya ke dalam makananku, kan?"
"Terkadang aku hendak melakukannya saat kau bersikap menyebalkan," jawab Joohyun cuek, padahal dalam hatinya ia tertawa keras melihat wajah Seokjin yang kaget. "Mana mungkin kau akan melakukan itu," ucap Seokjin seolah menenangkan dirinya sendiri. Jika saja dia tahu bahwa Joohyun memang sering berniat untuk meracuni lelaki itu.
"Keluargamu setuju kau kuliah farmasi?" tanya Seokjin lagi.
Joohyun mengedikkan bahu. "Mereka tidak peduli. Anak perempuan tidak wajib mempelajari bisnis, berbeda dengan anak laki-laki yang akan meneruskan perusahaan." Jawaban yang membuat Seokjin ikut setuju. Ternyata para keluarga konglomerat memang tidak beda jauh.
Memang Joohyun agak menyayangkan pendidikannya harus terhenti setelah lulus, karena setelahnya ia harus hidup melayani keluarga konglomeratnya. Kepemilikan saham pun tidak seberapa. Itulah mengapa orangtuanya memaksanya untuk menikah dengan konglomerat lain agar kehidupan sejahteranya terus berjalan.
"Mau kopi?" tanya Seokjin yang membelokkan mobil pada pintu drive thru coffee shop. "Kau mau kopi apa? Astaga... Joohyun!" tegur Seokjin karena Joohyun tak kunjung meresponnya. Ternyata wanita itu terlalu fokus memainkan ponselnya.
"Oh maaf, aku sedang membalas pesan Danny. Cappuccino sepertinya enak."