America has been my obsession since I was five.
Perekonomian yang sukses, pendidikan yang tinggi, bangunan-bangunan yang mengagumkan dan patung Liberty yang biru. Dulu aku hanya tahu itu semua dari buku-buku yang Ayah belikan untukku. Aku kagum ketika melihat gambar bangunan-bangunan tinggi disana, juga taman-taman yang dipenuhi merpati. Walaupun Korea juga memiliki hal seperti itu, bahkan aku sering mendatangi dan memberi makan burung-burung ditaman dekat rumahku, aku selalu ingin menginjakkan kakiku di Amerika.
Ayah bilang jika aku ingin pergi ke Amerika, aku harus belajar dengan giat. Kulakukan sesuai dengan yang Ayah katakan. Hingga aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan perguruan tinggi di negeri impianku, Amerika.
Semuanya berjalan cukup singkat. Ayah dan Ibu yang bangga dengan prestasiku membelikanku apartemen murah yang sedikit jauh dari kampus dan selalu menanyakan keuanganku, walaupun sebenarnya aku cukup hemat dalam keuangan.
Lima bulan pertama aku sedikit kesusahan dalam komunikasi, jujur saja walaupun aku mengerti apa yang orang-orang katakan tapi aku selalu kesusahan untuk membalasnya. Namun saat ini aku cukup bersosialisasi dengan baik. Bahkan Jenny mengajakku untuk datang ke pestanya.
Dengan bersemangat, aku menuju rumah Jenny yang hanya berjarak beberapa blok dari apartemenku. Memang menjadi kebiasaanku untuk berjalan kaki disini, karena memang itulah salah satu impianku jika berada di Amerika. Berjalan kaki didalam kota.
"Ah... naneun nae insaeng-i sirheo." (Aku benci hidupku)
Eh? Sepertinya aku familiar dengan bahasa tersebut. Cukup lama aku tidak mendengar bahasa korea secara langsung, tapi aku bisa memastikan itu adalah bahasa korea. Apakah ada orang korea disekitar sini? Susah sekali menemukan orang korea disini, karena itu aku sedikit tertarik untuk bertemu dengan orang tadi.
Aku tidak menemukan siapapun disini. Atau bahkan didalam mini market didepanku selain kasir yang sepertinya bukan orang korea.
"Excuse me, you blocked the door."
Aku terkejut dan seketika menghindari dari pintu mini market. Seorang lelaki menatapku dengan tak suka sambil berdecak. "Ck! Babo gateun!" (Bodoh!)
Tunggu! Lelaki itu baru saja berbicara dengan bahasa korea. Sontak aku langsung mengikutinya masuk kedalam mini market. "Hanguk saram-ieo?" (Kau orang korea?) tanyaku langsung menggunakan bahasa korea. Jika diperhatikan, lelaki ini memang terlihat Asian.
Lelaki yang mengenakan beanie merah itu tidak mengubrisku. Kutarik lagi lengan jaketnya. "Hanguk saram―"
"Wae? Naega man-yak hanguk-in-iramyeon, geuraeseo eocheorago?" (Jika aku orang korea, apa masalahmu?) potong lelaki itu dengan tidak ramah. Bahkan setelah mengatakan hal tersebut, ia kembali mengacuhkanku. Ah, aku tidak bisa menyerah. Dia adalah orang korea kedua yang kutemukan di kota ini selain Jinyoung yang di drop out beberapa minggu yang lalu. Aku harus bisa berteman dengan lelaki ini, karena kami terikat dengan satu nasionalisme.
Kuulurkan tanganku dihadapannya. Dengan wajah tak berdosa, kuperkenalkan diriku. "Kim Yerim, mahasiswi. Aku tinggal disini hampir setahun."
"Hanya orang bodoh yang mau tinggal disini."
"Kenapa? Amerika tidak buruk. Bahkan impianku untuk bisa berada disini. Aku sangat menyukai Amerika." Kusebutkan semua itu dengan senyuman manis. Aku memang tidak bisa menahan diri jika membahas tentang Amerika.
Kupandang lelaki itu. Dia masih terdiam, namun tiba-tiba saja menyunggingkan senyum sinisnya sambil berkata, "Aku benci Amerika."
Untuk seseorang yang mengagumi Amerika, kalimat itu benar-benar menyakiti hatiku.
"Mengapa kau mengatakan hal itu?"
Aku kembali menahannya saat ia hendak membayar makanan yang ia pegang. Lelaki itu benar-benar terganggu olehku, tapi aku tidak peduli. Aku harus mengetahui alasannya membenci negeri impianku.
"Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu," titahnya dingin. Ia melepaskan tanganku, tapi aku kembali menangkapnya.
"Katakan padaku mengapa kau membenci Amerika!?"
Seruanku sepertinya terdengar oleh kasir karena wanita itu kini menyaksikan kami dari kejauhan. Lelaki dihadapanku mulai kesal. Ia menepis tanganku dengan kasar hingga membuatku hampir terjatuh.
"Aku membenci Amerika sama dengan aku membenci Korea. Jadi enyahlah!"
Aku syok mendengar perkataannya. Mengapa ia bisa membenci negaranya sendiri? Apa yang membuatnya membenci korea? Mungkin aku terlalu baik, karena aku tidak pernah membayangkan akan membenci Amerika. Apalagi negaraku sendiri, Korea.
Seusai kepergiaan lelaki tersebut, aku baru menyadari sesuatu miliknya tertinggal.
Ini bukankah paspor korea?
Kubuka halaman pertama.
Jeon Jungkook.
.
.
.
maaf jika terdapat kesalahan dalam bahasa asing karena saya juga menggunakan translator :))