Sana mengerjapkan matanya. Menggeliat sebentar dari posisi tidurnya. Ia memandang langit-langit ruangan. Kepalanya terasa sangat berat. Seperti sesuatu telah terjadi padanya kemarin malam.
Wait a sec!!
Sana langsung melompat dari kasurnya. Tubuhnya menegang. Disentuh belakang kepalanya. Tidak terasa nyeri akibat pukulan. Ia keluar dari kamarnya dengan panik.
"Apa yang terjadi?" Namjoon menatap aneh adik perempuannya dari dapur.
"Oppa!" Sana menyeruak pada lelaki yang masih mengantuk itu. "Apa yang terjadi?! Kenapa aku bisa terlihat baik-baik saja?!" serbunya dengan mata melotot.
"Apa yang kau bicarakan?" Namjoon mengeryit tak mengerti. Ia menyentuh dahi Sana untuk memastikan apakah gadis itu sakit atau tidak. "Kau sakit?"
Sana mendesah kasar. "Sepertinya aku bermimpi buruk..." gumamnya.
"Jika dapat membuatmu seperti ini, pasti itu mimpi yang sangat buruk..." kata Namjoon. Lalu melenggos pergi sambil meminum kopinya.
"Aku bermimpi diculik sekelompok orang. Apakah hal itu mungkin terjadi?" Gadis itu menatap Namjoon gelisah. Kelima jarinya mengetuk-ketuk meja disampingnya.
Namjoon manggut-manggut mengerti. "Kau adikku. Dan aku memiliki banyak musuh. Menurutmu bagaimana?" Sana menunduk. Sementara Namjoon meletakkan kopinya, ia melanjutkan perkataannya, "Itu sebabnya aku ingin mengirimmu ke Jangheung Abey School. Mereka menyediakan fasilitas asrama. Aku telah melakukan research beberapa kali, keadaan disana cukup terjamin. Lagipula, ada beberapa temanku yang bisa diandalkan jika kau merasa terancam. Bagaimana menurutmu?"
Sana meragu saat mendengar penuturan Namjoon mengenai sekolah barunya. Ia yang bisa kapan saja menjadi incaran musuh-musuh diluar sana membuatnya selama ini tak berani untuk berada jauh dari Namjoon. "Tapi Jangheung... isn't it too far?"
"Its pretty much better. Itu sekolah khusus perempuan. Mungkin kau bisa mendapatkan teman disana."
"Kau tidak sedang berusaha membuangku, kan?" Sana memicikkan matanya. Namjoon tertawa kecil. "Mengapa aku harus membuangmu?" Lelaki itu memandang geli.
"Karena aku sangat nakal. Dan selalu merepotkanmu."
"Ternyata kau sadar juga kelakuanmu selama ini."
Sana terdiam malu. Ya, it must be her fault anyways. "Aku tidak membuangmu, Cantik. I'm trying to do my best for you," kata Namjoon mantap.
Gadis itu mengulum senyumnya. "And then, how about you?" Ditatapnya Namjoon sedih. "I'll be okay..." Namjoon tersenyum. "Whynever you call me, I'll be there in blink of an eye." Lelaki itu menaikkan kedua alisnya. Menuntut jawaban Sana.
Kepalanya terangguk kecil. Senyumnya kembali mengembang. "Keep your promises because I will bombing you every sec..."
"Yes, my little dear..."
Namjoon, kakak satu-satunya yang ia punya selalu saja benar dengan apa yang dikatakannya. Sekolahnya kali ini bukanlah seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolahnya kini bertempat disebuah kastil tua yang didirikan oleh bata merah kokoh. Beberapa kelompok gadis yang mengenakan seragam sama persis terlihat berjalan sambil tertawa canda. Sana hanya bisa tersenyum menyaksikan keakraban gadis-gadis tersebut.
"Minatozaki Sana?"
Sana berbalik saat seorang wanita yang cukup berumur memanggilnya. Ia membungkukkan badannya pada wanita tersebut. Wanita itu tersenyum simpul. "Jung Sin Hye, Kepala Sekolah disini..." sapanya ramah sambil menyodorkan tangannya pada lelaki yang berdiri tepat disamping Sana.
Namjoon balas menjabat tangan wanita itu sebentar. "Kim Namjoon, kakak dari Minatozaki Sana..."
"Aku mengerti. Kuharap kau sudah siap Sana karena kelasmu akan dimulai satu jam lagi..."
Sana mengangguk. Kemudian menoleh pada Namjoon dengan sedih. "Kau akan langsung pulang ke Seoul?" tanyanya lirih. Namjoon mengangguk. Memupuskan secerca harapan Sana bahwa lelaki itu setidaknya akan berdiam di Jangheun untuk beberapa hari.
"Masuklah... Kelasmu akan dimulai sebentar lagi..." Namjoon berucap lembut. Gadis berambut pirang itu mengangguk patuh. Ia berbalik sambil menarik kedua kopernya mengikuti wanita yang berjalan didepannya. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, ia berbalik lagi. Berlari kearah Namjoon dan memeluk lelaki itu erat.
"I'm so sorry..." bisiknya yang dipenuhi penyesalan. Jika saja ia lebih baik, mungkin ia takkan terpisah jauh dengan kakak tersayangnya. Karena saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya kini adalah tidak adanya Namjoon disisinya. Ia menyesal.
"It's okay, Sweetheart. Berjanjilah kau akan bertahan untukku." Sana mengangguk mengerti. Ia mengusap airmatanya yang terjatuh.
"Aku masuk. Pulanglah dengan selamat..."
Sana meninggalkan Namjoon, menarik kembali koper-kopernya dan menyusul kepala sekolahnya yang tengah menunggu didepan pintu utama. Dengan yakin, ia memasuki bangunan tersebut. Membulatkan tekadnya untuk satu-satunya orang yang akan ia rindukan.
Mata Namjoon terus mengiringi kepergian Sana hingga gadis itu menghilang dibalik pintu. Ia menyunggingkan senyumnya setelah menyaksikan bahwa adik kecilnya telah aman. Dikeluarkan ponselnya dari saku jaket.
"Aku akan pulang ke Seoul sekarang. Dan aku mau rencana A telah tersusun rapih, Jeon Jungkook..."
###
"Kudengar seseorang telah mengirimnya menjauh dari Seoul, apakah itu benar?"
Lelaki berambut cokelat mengangguk pada lelaki yang duduk dengan gagah disinggasananya. Dengan sebatang rokok yang tersemat diantara kedua bibirnya, lelaki itu menyunggingkan senyum tipis yang tak dapat disadari oleh lelaki didepannya, lelaki berambut cokelat.
"Kau tahu apa tugasmu?" tanyanya sambil menghembuskan keluar asap nikotin dari paru-parunya. Lelaki yang ditanya mengangguk.
"Mendapatkan dan memberikan pada Anda dalam keadaan utuh," jawabnya patuh. Lelaki itu kembali tersenyum sinis, kali ini tanpa rokok yang terselip.
Wang Jackson, lelaki yang sedari tadi berdiri patuh menghadap atasannya bisa merasakan kelegaan dalam dirinya. Lelaki itu tersenyum sinis. Senyum yang menandakan bahwa ia menyetujui misi ini untuk diemban olehnya. Dan itu berarti ia akan mendapatkan promosi ke posisi yang lebih tinggi dari sekedar tikus penolong. Dengan bayaran yang mahal tentunya.
Jika ia berhasil.
"Kau tahu konsekuensinya jika kau gagal." Lelaki itu bangkit dari kursinya. Menyalakan musik jazz dari pemutar musik kuno abad pertengahan. "Selain didepak, kau juga akan diberikan kehidupan neraka karena telah mengkhianati kelompok .Aturan baru yang kubuat lima menit yang lalu..." jelas lelaki berambut abu itu dengan tenang. Tanpa memandang wajah Jackson yang memucat.
"Jadi kau harus melakukannya. Aku tidak menyukai penolakan. Aku mau gadis itu. Aku mau kau membawanya ke hadapanku hidup-hidup." Ucapan lelaki itu menajam, mencekam dan membebani.
Jackson mengangguk kembali, namun sedikit ragu. "Baiklah, Song Mino..." ucapnya sebelum melangkahkan kaki keluar ruangan.
"Dan juga..."
Langkahnya terhenti mendengar ucapan dari atasannya tersebut. Ia membalikkan tubuhnya heran.
"...aku mau semuanya dilakukan terencana. Kali ini bukan sekedar kelompok rendahan. Mereka bisa lebih kuat dari yang kita perkirakan..."
"Baik."
Seusai kepergian Jackson, lelaki yang tengah menikmati musik jazz yang menggema keseluruh ruangannya mengeluarkan selembaran foto lama. Foto gadis manis dengan dua gigi kelinci. Ditatapnya foto itu lama. Sambil tersenyum, Mino mengucapkan lirih pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang dikepalanya.
"Kau... masih menungguku, kan?"