"Kau mencurigai Seulgi?!"
Aku tahu Spade akan berteriak padaku. Kucoba untuk tidak balas meneriakinya. "Kau tahu alasanku, Jim, semua petunjuk mengarah padanya," tuturku mencoba jelaskan ulang. Spade—Jimin—menarik kursi dengan kesal. Ya, dia tahu itu, tapi dia mencoba untuk mengubur fakta terkait wanita yang hampir ia kencani. Padahal sejak awal sudah kuperingati untuk tidak bermain perasaan ketika bekerja.
"Bagaimana jika ternyata bukan?" Jimin menatap penuh harap walaupun pada akhirnya aku harus memberi gelengan kecil. "Kita harus mencobanya lebih dulu," ucapku. "Dengan apa? Tidak mungkin kan kita langsung bertanya 'apakah kau salah satu dari kelompok mafia'?" Aku menggeleng lagi. Tentu saja tidak dengan cara seperti itu.
"Kita pancing dengan umpan yang pas."
###
Aku duduk menunggu disatu-satunya kursi plastik yang disediakan dan menghadap pada kasur. Diatas kasur terbaring seorang wanita yang kelak akan berperan sebagai istriku, dan aku sebagai suami yang putus asa. Bahkan sejak pagi aku sudah mengumpulkan emosi untuk menghayati peranku.
Earphone kecil ditelingaku berbunyi. "Jimin datang."
Langsung kupersiapkan diriku sesedih mungkin.
"Jimin memasuki gedung."
"Tetap pada posisi. Jangan lengah," balasku.
"Kamera aman."
"Bagus. Kami akan kesana dua puluh menit lagi," balasku lagi pada suara di earphone.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Aku berbalik dan berdiri, memasang wajah muram sambil memeluk Jimin. "Hai, Spade, terima kasih sudah berkunjung," ucapku tidak semangat.
Kemudian Jimin mengenalkanku pada Seulgi. Perbincangan terjadi cukup lama sampai Jimin memberi kode,
"King, sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Bagaimana jika kita bicara diluar sebentar?"
Kami berdua meninggalkan Seulgi bersama dengan umpan yang pas. Kuperhatikan Seulgi dari monitor cctv yang sudah disembunyikan seapik mungkin. Aku sangat yakin walau agen terlatih sekalipun tidak akan sadar akan cctv tersebut.
Wanita itu duduk dikursi yang sebelumnya kududuki sambil mengetuk-etukkan jarinya. Tatapannya menatap luar jendela, jelas tidak tertarik sama sekali untuk menoleh pada wanita yang terbaring kritis diatas kasur. Apa ini? Mengapa tidak ada gerakan yang mencurigakan?
"Dia terlihat bosan," cetuk Jack.
"Apa yang biasanya orang lakukan ketika bosan?" timpalku.
Jack mengedikkan bahu. "Entahlah. Bermain ponsel, mungkin?"
"Ponselnya tertinggal dalam mobil. Aku sengaja tidak memberitahunya," tutur Jimin.
Kembali kualihkan pandanganku pada monitor. Kali ini Seulgi berdiri di depan jendela sambil memandang entah apa. Semoga saja kali ini ada hal yang mencurigakan.
"Heart, bisa kau lihat gerakan matanya?" sahutku melalui earphone yang langsung menjawab, "Menatap lurus orang-orang di lapangan parkir."
"Joker, cari profil setiap orang yang ada di lapangan parkir selama dia menatap kesana."
"Okay."
"Diamond, tetap siaga."
"Sebaiknya kalian kembali ke ruangan. Ini sudah lebih dari sepuluh menit. Wanita itu akan curiga," saran Jack yang mendapat dukungan dari Jimin. Ah, sial! Masa tidak mendapat apa-apa dari pengintaian ini?! Padahal aku sangat yakin sudah menambur umpan yang pas. Umpan mana lagi yang tidak menggoda ketika anggota kelompok yang tersandera dihadirkan tanpa pengamanan?
Mau tidak mau kami kembali lagi ke ruangan. "Maaf membuatmu menunggu lama. Haruskah kita pergi sekarang?" Jimin membawa Seulgi meninggalkan aku dan umpan yang membusuk.
Dari sisi jendela, kupandang Seulgi yang memasuki mobil bersama Jimin. Wanita itu sama sekali tidak menunjukkan gerak mencurigakan. Apa dugaanku salah?
"Jadi apa kesimpulannya, Kim Seokjin?" Diamond buka suara untuk pertama kali pada hari ini.
Menghela nafas panjang, harus kuakui aku kalah.
"She's innocent."
###
Januari.
Hi, this is Vanilla. Sassy, jika kau sudah dapatkan datanya, segera kirimkan padaku.
Januari.
Hi, this is Vanilla. Are you on the line, Sassy?
Januari.
Hi, this is Vanilla. Sassy tidak dapat dihubungi.
Februari.
Kabar buruk, Vanilla. Sassy tertangkap. Sebaiknya kau berhati-hati.