A Rose Among The Thorns

276 25 0
                                    

This was the moment anybody never expected.

Dua orang yang duduk saling berhadapan. Sebuah benda terkutuk diletakkan di atas meja. Yoongi tahu benda itu pembawa sial. Nayeon tahu bahwa Yoongi akan berpikir demikian. Selang berapa lama tidak kunjung suara muncul. Keduanya tenggelam dalam pikiran yang dalam.

"Oppa tidak harus bertanggung jawab," suara Nayeon muncul bersama seulas senyum tipis di wajah manisnya. Kembali ia lirik benda di atas meja. Garis dua merah yang terlihat jelas oleh mata mereka.

"Aku hanya ingin Oppa mengetahuinya, aku tidak ada maksud apapun," lanjut Nayeon lagi sambil mengambil kembali testpack tersebut dan memasukkan ke dalam tasnya. Dilirik jam murah di pergelangannya yang belum menunjuk pukul dua, namun ia akan berbohong dengan mengatakan bahwa ia terlambat berkerja.

Nayeon berdiri, menyampirkan tasnya ke bahu. "Aku harus pergi bekerja. Jangan terlalu terbebani, Oppa. Aku yang akan mengurus semuanya," tutup gadis itu sebelum menutup pintu rumah Yoongi dengan senyuman. Senyuman tersebut masih disana bahkan setelah Yoongi tidak dapat melihatnya lagi, namun mata Nayeon menyendu. Sedikit air mengenang disana. Ia harus menarik nafas panjang sebelum mengambil langkah pergi seraya membatin bahwa semuanya akan baik-baik saja dan ia tidak perlu takut.

Hidup Nayeon berjalan seperti film. Ia melangkah dengan tegap melewati toko-toko, namun terduduk jatuh di dalam kamarnya, kemudian berjalan dengan tegap lagi dan menuai senyum pada pelanggan di toko, lalu tersedu-sedu dalam bantal, dan seterusnya seperti itu.

Hidup Nayeon berjalan seperti film yang tidak pernah ia inginkan untuk jadi pemeran utama.

To say she is giving up, too early. Hidupnya, kesalahannya, masalahnya, tidak ada hubungannya dengan sang bayi. She is not giving up on the baby, she will raise the baby no matter what. Nayeon adalah seorang ibu dari bayi yang mungkin tidak Yoongi inginkan, tapi ia seorang ibu dari bayi yang memutuskan untuk lahir melalui tubuhnya.

Semakin bertambah usia sang bayi, semakin bertambah beban yang harus Nayeon pikul. Ia mulai menabung untuk biaya sebelum dan sesuai persalinan, kebutuhan ibu hamil serta baju-baju bayi lucu yang selalu ia lewati ketika hendak pergi bekerja. Pada akhirnya Nayeon harus mengambil beberapa kerja tambahan untuk menutupi biaya yang cukup banyak.

Tubuh Nayeon yang semakin sensitive mulai kelelahan. Beberapa kali ia sering dimarahi karena tertidur saat bekerja ataupun datang terlambat karena kelelahan di malam hari.

Pagi ini adalah akhir pekan. Nayeon akhirnya dapat bangun sedikit agak siang sebelum pergi bekerja di siang hari. Sama seperti minggu lalu, kali ini kotak posnya terisi satu amplop. Begitu amplop dibuka, Nayeon menemukan seikat uang di dalamnya. Sudah hampir sebulan uang-uang itu mampir di posnya tanpa ia tahu siapa pengirimnya.

Dimasukkan kembali uang tersebut dalam amplop, kemudian Nayeon letakkan bersama dengan amplop-amplop sebelumnya. Ia tidak berhak menggunakan uang tersebut, entah siapapun itu pengirimnya. Ia sudah bertekad untuk memenuhi hidupnya dan sang bayi dengan uang yang ia hasilkan sendiri.

Bekerja di akhir pekan bukanlah impian semua orang. Berjalan dengan lesu memasuki tempat bekerja, Nayeon harus dihadapkan pada pelanggan yang tidak pernah ia temui sejak terakhir kali.

"Mengapa kau bekerja pada hari ini?" tanya Yoongi ketika Nayeon menyerahkan buku menu.

"Apa lagi memangnya?" jelas Nayeon tidak perlu menjawab pertanyaan Yoongi.

"Apa yang terjadi dengan uang yang kuberikan? Bukankah cukup untuk menutup semuanya?"

Nayeon berhenti untuk menatap Yoongi. "Aku hanya akan memberi makan sang bayi dengan uang yang kuhasilkan. Bukankah sudah kubilang jangan merasa terbebani? Aku sungguh-sungguh, Oppa..."

Mereka berdua berada dalam situasi yang tegang. Yoongi dan Nayeon bertemu di sebuah pesta kecil-kecilan yang diadakan oleh seorang teman. Setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi sampai saling bertabrakan ketika menyebrang jalan dan berakhir dengan menikmati soju dipinggir sungai Han.

Malam itu Nayeon harusnya sadar untuk menolak ajakan minum soju dari Yoongi. Namun karena hari itu begitu berat, ia memutuskan untuk melepaskan penatnya. Yoongi pun harusnya sadar bahwa ia tidak boleh mengajak seseorang yang baru ia temui dua kali untuk minum soju, akan tetapi hari yang ia jalani tidak jauh berbeda jadi ia memutuskan untuk menikmati soju dengan seseorang yang bernasib serupa.

Sejak malam itu, mereka sadar bahwa alkohol adalah duri pada mawar.

"Jangan menjadi keras kepala. Jika kau terus bekerja seperti ini justru akan memperburuk kesehatan sang bayi."

"Kenapa Oppa begitu peduli pada bayi yang belum tentu merupakan anakmu?"

Yoongi terdiam kaget. Nayeon pun begitu. Namun ia semakin takut ketika wajah Yoongi berubah drastis, kemarahan nampak diwajah pucatnya dan lelaki itu berdiri menghadapnya. Nayeon bisa melihat rahang Yoongi mengeras ketika memandangnya.

Mencoba untuk mengatasi ketakutan, Nayeon tidak sadar Yoongi telah meraih pergelangannya. Tanpa basa-basi lelaki itu menarik Nayeon untuk berjalan bersamanya, meninggalkan restoran tempat Nayeon bekerja di akhir pekan. Lalu memaksa gadis itu untuk memasuki mobilnya.

"Oppa apa yang kau lakukan!?" seru Nayeon tidak senang dengan perlakuan Yoongi. Belum lagi ia yang tiba-tiba menghilang dari restoran pasti akan dimarahi oleh sang bos. "Kemana kau akan membawaku?" tanyanya begitu mobil bergerak pergi.

"Kau bilang dia bukan anakku?" ucap Yoongi tak senang.

"A-apa... bu-bukan—"

"Terlepas siapapun itu, akan akan menjadikannya anakku. Aku akan melakukannya. Aku akan menikahimu..."

"Apa?"

"... jadi kau tidak perlu bekerja di akhir pekan dan memberikan senyum pada semua orang, karena aku, Min Yoongi, mulai sekarang yang akan bertanggung jawab."

Nayeon menggeleng lemah. "Ini tidak benar... Ini tidak benar... Mengapa Oppa harus menikahiku?"

Yoongi menepikan mobilnya. "Dengar, Im Nayeon, aku—"

"Oppa tidak pernah menginginkan sang bayi, lalu kenapa sekarang kau akan menikahiku?"

"Aku—"

"Apa setelah ini Oppa akan pergi dan menyakiti kami?"

"Aku—"

"Sekarang Ayah dari sang bayi mengatakan bahwa akan menikahiku? Aku pasti sudah gila—"

"Im Nayeon!" bentak Yoongi untuk menghentikan ocehan Nayeon dan membuat gadis itu berpaling padanya. "Aku mengaku bahwa aku pernah tidak menginginkan sang bayi, tapi aku tidak bisa lari dari hal ini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menderita karena ulahku sendiri. Aku ingin menerima sang bayi dengan benar dan tulus, tidakkah kau mengerti itu?"

Itu adalah kalimat terpanjang yang Nayeon pernah dengar dari mulut Yoongi.

"Ayo menikah. Kau dan aku, kita besarkan sang bayi bersama." Suara Yoongi melunak. Ajakan pernikahan yang disampaikannya membuat Nayeon meleleh. Akan tetapi gadis itu masih bertarung dengan hatinya.

"Pernikahan tanpa cinta tidak akan bertahan lama. Kita tidak saling mencintai, Oppa..."

"Bukankah kita memiliki sesuatu yang menjadi sumber cinta itu?" Yoongi menunjuk perut Nayeon yang sudah sedikit membuncit namun masih dapat tertutup oleh baju. Nayeon sontak menyentuh perutnya, kemudian menatap Yoongi kembali. "Ayo menikah, aku serius..." ajak Yoongi sekali lagi.

Ini bukan film. Nayeon tidak ingin ini menjadi sebuah film. "Jika Oppa bersungguh-sungguh, cium aku, cium sang bayi, cium yang kau katakan sebagai sumber cinta tersebut—"

Yoongi tidak pernah menarik ucapannya. Ia cium Nayeon, sungguh-sungguh. Ia serius.

"Ayo menikah..."

LUSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang