Yoongi tidak pernah menunjukkan dirinya yang patah hati. Lelaki itu cukup baik dalam menyembunyikan suasana hatinya. Ia akan tertawa lepas jika bersama dengan teman-temannya dan akan serius jika melakukan pekerjaan. Semua itu Yoongi lakukan untuk waktu yang lama, sampai ia akan lupa jika ia sedang menyatukan kepingan hatinya kembali.
Semuanya terasa menyenangkan. Pagi yang cerah dan siang yang tidak terlalu terik, namun ketika malam tiba, dingin menyelimuti. Dingin yang membuatnya kaku tak dapat bergerak menyakiti Yoongi. Dingin yang selalu terasa ketika ia kembali pulang ke rumah. Bahkan dengan semua gelak tawa yang ia gemakan, tidak akan menghangatkan dirinya di rumahnya sendiri.
Selain dingin, kesepian turut menghampirinya. Dua pasangan yang mampu membuat Yoongi menangis. Dari sekian banyak tempat di dunia ini, ia harus kembali ke rumah, tempat yang hanya membuat hatinya kembali hancur. Dan juga satu-satunya tempat yang menjadi saksi bisu sisi lemah Yoongi.
Yoongi benci itu, detik-detik ia harus kembali pulang. Ia benci rumahnya. Ia benci dirinya. Ia benci hatinya yang menyedihkan.
Berbulan-bulan Yoongi harus mengalami fase yang sama. Insomnia bukan lagi teman baru dan alkohol bukan lagi pelampiasannya. Bodohnya, Yoongi masih saja memikirkan Nayeon. Perasaannya masih sama dan akan selalu sama. Cinta yang ia berikan pada Nayeon masih besar, bahkan semakin membesar setiap hari dibumbui rindu yang menggebu. Akan tetapi Yoongi sadar diri, ia bukanlah yang diinginkan Nayeon. Ia hanya sebuah permainan dan perasaannya hanya sebatas dadu agar gadis itu menang.
Kalau dapat memundurkan waktu, Yoongi berharap argumen mereka kala itu tidak pernah terjadi. Ia tidak ingin tahu fakta sebenarnya. Ia tidak ingin mendengar Nayeon mengatakan bahwa dirinya hanyalah perbuatan iseng semata, tidak ada unsur kesungguhan sama sekali. Yoongi hanya ingin dirinya mengetahui bahwa Nayeon juga memiliki perasaan padanya. Ia ingin menjadi dirinya yang terbodohi.
Yoongi hanya ingin Nayeon.
But this seesaw has stop.