pertemuannya, permasalahannya, semua yang terjadi dalam tiga bulan terakhir membuat nayeon angkat tangan. rumah yang bertahun ia tempati harus mendapat segel resmi dari bank. ibu yang semula ia hormati menghilang entah kemana. harta yang selalu mengelilinginya harus terkuras.
tiga bulan sebelumnya, ia mendapat telepon dari pihak bank yang mengatakan bahwa ibunya memiliki hutang berjibun.
haha. lucu bukan? selama ini ia menikmati uang dari hasil hutang. apa yang ibunya pikirkan, sih!?
semuanya terjadi setelah kepergian ayah. berpisah dengan tidak baik sampai ayahnya harus meninggalkan bumi. ibunya dengan lugu bergonta-ganti pacar, dari yang seumuran hingga lebih muda dari anaknya sendiri. pokoknya semua salah ibu dan nayeon yang harus menanggung bebannya.
menghela nafas panjang, nayeon mencoba untuk fokus pada buku catatan kecilnya. "bahkan jika menjual semua tasku, mobil ataupun apartemen tidak cukup untuk melunaskan tagihannya..." gumamnya frustasi. kepalanya berdenyut memikirkan besarnya hutang yang harus ia bayar pada bank.
"lagipula ibu seperti apa yang meninggalkan hutang begitu banyak pada anaknya sendiri?"
"harusnya sejak dulu aku ikut ayah saja."
lagi-lagi nayeon tatap angka yang ia kalkulasikan sejak tadi. murung wajahnya terlihat sangat jelas. menjadi miskin bukan sebuah pilihan. ia tidak akan menyangka pada hidupnya ke dua puluh lima tahun akan berbalik hebat. semula ia merasa bisa menggenggam dunia sekarang malah merasa digenggam oleh dunia.
tidak betah, tentu saja. mana ada orang yang tidak pernah memandang label harga kini membeli sebuah ramen cup saja harus membandingkan dengan merk sebelah akan bertahan.
"apakah aku menjual diri saja, ya?" gumamnya putus asa.
nayeon menutup buku catatannya, lalu menoleh pada ramen cup yang mendingin. sudah lebih dari seminggu ia memaksakan diri untuk makan sekali sehari dengan sebuah ramen cup yang sengaja ia biarkan mengembang agar terasa mengenyangkan. ia harus meminimkan pengeluaran karena ia sudah jatuh miskin.
"sepertinya menjual diri tidak buruk. zaman sekarang hal tersebut bukan hal yang tabu lagi," ucapnya sebelum menyuruput mie yang dingin.
bel pintu mini market berbunyi, pertanda pengunjung keluar masuk. nayeon sudah menduduki kursi ini sejam yang lalu dan tidak dipermasalahkan bagi karyawan disana. tapi salah satu karyawan menghampirinya dan menyodorkan sebuah kotak makan siang yang dijual disalah satu etalase.
"permisi, saya disuruh untuk memberikan ini pada anda..." kata karyawan tersebut. nayeon mengeryit disuapan terakhir ramen cupnya. "dari siapa?" tanyanya bingung.
"saya tidak tahu. seorang lelaki yang baru saja pergi. saya hanya disuruh untuk memberikan pada anda."
mulut nayeon hendak membalas namun ringtone ponselnya berbunyi. ia alihkan pandangan pada ponselnya sementara karyawan tersebut kembali ke meja kasir.
jika ingin menjual diri, setidaknya makan makanan yang benar.
selain terkejut dengan pesan tersebut, nayeon lebih terkejut dengan si pengirim pesan.
min yoongi.
senior yang pernah nayeon coba dekati saat kuliah diploma. dulu, saat ia masih kaya dan bergelimang harta. serta ketika ia memiliki jabatan superior sebagai sosialita yang dicemburui segala kalangan. dulu, saat hidupnya masih normal.
pendekatan itu gagal ketika min yoongi secara terang-terangan menunjukkan penolakan dan rumor bahwa lelaki itu sebenarnya gay. sangat disayangkan untuk seorang elite namun nayeon akhirnya mundur secara perlahan. lalu melupakan.
siapa sangka banyak tahun berlalu dan di masa keterpurukannya ia kembali menabrak min yoongi? maksudnya, lelaki itu duluan yang memberi sinyal.
nayeon tidak sempat untuk berlari mengejar min yoongi seperti dalam drama karena sebuah mobil dengan lelaki itu didalamnya sudah melintasi kaca mini market. pergi.
sebuah senyum terhambur kala matanya menatap kotak makan siang tersebut. sudah lama ia tidak merasakan makanan yang sesungguhnya. yah, ini hanya hari keberuntungannya saja. memalukan rasanya bertemu seorang elite dalam keadaan miskin seperti ini, tetapi tidak ada yang bisa memprediksi itu, kan?
semuanua hanya kebetulan.