Saat Ray menilai bahwa Leonel menjadi gila, tentu saja ia benar. Mungkin efek bertahun-tahun perang merubah sifat teman kecilnya itu, ia masih bisa memaklumi. Siapa yang tidak akan menjadi gila jika berada di tempat kapanpun bisa mati? Namun kegilaan apa ini yang menyuruh mencari orang yang jelas-jelas sudah mati?
Bukan hanya Ray, seluruh pasukan elit yang diperintahkan pun berpikiran sama. Bagaimana bisa mereka menemukan orang yang kepalanya sudah terpenggal, sedangkan tubuhnya diawetkan di ruang rahasia istana putra mahkota?
Berbulan, hampir setahun mereka mengejar hantu. Kini semuanya lelah, kecuali Leonel.
"Yang Mulia, semua orang sudah lelah. Mereka bahkan tidak tahu harus mencari seperti apa lagi," ucap Ray, menyampaikan semua keluh kesah yang ia terima karena ia tangan kanan Leonel.
Menatap seberang jurang dengan hembusan angin yang menerbangkan beberapa dedaunan kering, Leonel tidak menjawab. Seluruh dedaunan berubah menjadi jingga dan saling berlomba untuk jatuh. Hutan yang sudah lama ia pandang hijau perlahan ingin menyatu dengan tanah. Musim dingin sebentar lagi akan tiba, namun Leonel merasa terus kembali pada musim panas dimana ia masih bisa menyentuh Serena.
Serena terdengar seperti tentram, tapi entah mengapa nama itu selalu membuah kegaduhan bagi Leonel.
"Yang Mulia Putra Mahkota..."
Ucapan Ray benar. Semua orang lelah. Hati kecilnya pun mengeluhkan itu.
"Kita akan kembali ke ibukota besok pagi," cetusnya.
Leonel Arc Bavaria pun akhirnya putus asa.
Begitu menginjakkan kaki ke istananya, Leonel langsung memasuki ruang yang selalu ia sambangi. Terbaring sebuah tubuh di dalam peti mati yang sekelilingnya tertempel batu sihir. Ia selalu memandang wajah dari tubuh tersebut. Putih bersih dengan rambut merah menawan.
Serena Akin.
Obsesinya pada wanita itu membuatnya tidak tega untuk menguburkan jasadnya ke dalam tanah, daripada itu ia mengawetkan jasad Serena dengan batu sihir khusus yang ia dapatkan dari mengancam kepala menara sihir untuk menutup mulut terkait hal ini. Leonel tidak mementingkan reputasinya jika semua orang tahu akan obsesinya, tapi ia tidak ingin semua orang menilai bahwa Serena adalah wanita yang berani bermain api dengan anggota keluarga kekaisaran.
"Aku merindukanmu, Serena..."
Leonel menggenggam jemari dingin Serena. Matanya terpejam seperti sedang membayangkan Serena membalas genggamannya.
"Yang Mulia, Meril sudah datang," ucap lirih Ray dari balik pintu. Sang pahlawan perang itu menegakkan tubuhnya walaupun tidak ingin meninggalkan Serena yang terbaring sendirian.
"Bawa dia ke sini."
Ray datang bersama Meril, penyihir tua yang Leonel temui beberapa waktu lalu. Tidak memberi salam pada keluarga kekaisaran, perhatian Meril justru tertuju pada peti mati Serena. "Batu sihir ini tidak pernah aku lihat sebelumnya," ucap Meril seraya berjalan menghampiri benda tersebut.
"Ini sihir yang hanya bisa dilakukan oleh penyihir kelas atas, seperti kepala menara sihir...." Jemarinya yang menyentuh bebatuan itu terhenti dan lirikan matanya beralih pada Leonel. "Yah, kekuasaan memang hal yang bagus."
"Tapi apakah Anda tahu, Yang Mulia?" lanjut Meril lagi. Tangannya mencabut satu batu sihir yang tertempel pada peti mati dan menaruhnya di atas punggung tangan Serena.
"Jauhkan tanganmu darinya," seru Leonel, namun tidak diindahkan oleh Meril. Penyihir tua itu menyentuh salah satu cincin yang tersemat di jari kurus Serena. Belum sempat Leonel hendak menepis tangan Meril itu agar berhenti menyentuh jasad Serena, jemari keriput penyihir itu berhasil melepaskan sebuah cincin bermata merah dari jemari Serena.
Melihat apa yang dilakukan Meril membuat emosi Leonel meledak. "Apa yang kau lakukan!?" serunya dan merebut kembali cincin tersebut. Cincin yang ia berikan pada Serena pada malam itu.
"Apa yang Anda lakukan itu sia-sia, Yang Mulia."
"Keluarkan dia dari sini!" teriak Leonel pada Ray.
Masih nampak tenang, Meril melayang sebuah pernyataan mengejutkan.
"Dia bukan kekasih Yang Mulia..."
Seluruh tatapan beralih pada isi peti mati. Kejutan.
Jasad di dalam peti mati itu berubah menjadi jasad yang tidak mereka kenali. Rambut merah menawan Serena berubah menjadi pirang kusam. Wajah cantik Serena dengan bibir tebal ranumnya perlahan muncul bintik-bintik hitam di pipi dan bibir tipis pucat.
Ray pun tidak kalah terkejut melihat perubahan tersebut. Bukankah itu Serena Akin?
"Ini sihir pengganti. Cukup kompleks untuk dilakukan oleh penyihir kelas rendah. Ada kemungkinan wanita bernama Serena ini meletakkan sihir pengganti pada orang lain sebelum dipenggal."
"Bagaimana bisa aku percaya jika itu hanya akal-akalanmu untuk menipuku?" tantang Leonel.
Meril tersenyum. "Anda tahu..."
Sebuah angin berhembus dalam ruang tertutup itu. Menerbangkan untaian kain yang tergantung. Meril, penyihir tua perlahan berubah menjadi seorang wanita muda cantik dengan sorot mata tajam. Setitik tahi lalat terdapat di bawah matanya. Bibirnya yang semula mengerut kini berubah menjadi lebih sehat dengan polesan lipstik keunguan. Rambut putihnya menjuntai berubah hitam. Siapapun yang melihat mungkin tidak akan percaya wujud Meril sebelumnya.
"... Aku tidak pernah membual, Yang Mulia." Meril tersenyum begitu menawan dan licik.
"Serena Akin belum mati."
Satu pernyataan yang membangkitkan Leonel.
###
Jauh di sebuah pulau dengan curah hujan tinggi, seorang wanita berjalan tanpa komando menyusur jalan setapak yang terhubung pada sebuah rumah kecil berdinding kayu. Tangannya menjinjing sekeranjang apel yang berhasil ia petik dari hutan.
"Eden!" teriak seorang bocah lelaki dari pinggir sungai dengan pancing di tangannya. Orang yang dipanggil Eden tersenyum dan melambaikan tangannya pada bocah tersebut.
"Hujan akan segera datang. Akan berbahaya jika kau masih berada di sekitar sungai," ucap Eden seraya membuka tudung jubahnya.
Helai merah terhembus oleh angin. Poni yang hampir menutup penglihatannya ikut tersibak, menampilkan manik merah tajam penuh cerita. Eden melihat langit yang mulai menggelap.
Badai akan segera datang.