Irene terlunjak kaget saat pintu mendadak terbuka dan Seokjin masuk dengan senyum menawannya. Cowok itu berjalan mendekat dengan kedua tangannya yang tersimpan dalam saku celananya.
"Hai, Irene..." sapanya ramah.
Irene yang telah menaruh kecurigaan pada Seokjin membalas sapaan tersebut dengan tatapan tak ramah. "Aku tahu semuanya!" ucap gadis itu tak takut. Senyum Seokjin tersungging mendengar ucapan Irene. Dengan santainya, ia berkata, "Kalau begitu kau harus secepatnya mempublish di majalahmu sebelum aku menghancurkan perusahaan itu."
Tak ayal, Irene menggeram mendengar hinaan yang diberikan Seokjin atas perusahaan kesayangannya itu. "Berhenti menghina pekerjaanku. Kau memang tidak pernah simpatik terhadap orang-orang seperti kami!"
Seokjin mengedikkan bahunya tidak peduli.
"Sebenarnya apa yang kau rencanakan, Kim Seokjin?"
Pertanyaan Irene menggugah Seokjin. Lelaki itu melangkah mendekat hingga mereka berhadapan. Hingga mata hitam kelamnya bisa menusuk manik cokelat indah milik Irene. "You have no idea, Darling..."
"...aku tidak bisa memberitahumu karena kau selalu mengingkari janjimu padaku. Maaf, Bae Irene..." jelas Seokjin.
Gadis berambut cokelat itu menghela nafasnya frustasi. "Sebenarnya apa yang kau maksudkan? Kita baru bertemu selama dua minggu dan aku tidak pernah merasa menjanjikan sesuatu padamu."
Seokjin menatap Irene kecewa. Persis seperti apa yang ia prediksi bahwa tidak mungkin gadis itu masih mengingatnya. Semuanya berlalu dengan memori pahit yang ingin sekali dilupakan. But he never forget.
"Jadi kau bisa menceritakan kehidupanmu di panti asuhan?" Irene berusaha untuk lembut kepada Seokjin. Karena hanya ini satu-satunya jalan untuk mengorek informasi dari young multi-billioner didepannya. "Maafkan aku jika aku membuatmu tidak nyaman dengan membahas masa lalu. Tapi percayalah, aku juga berasal dari panti asuhan. Aku mengerti perasaan itu. And it would be great if you mind to shared with me..."
Pernyataan yang Irene kemukakan sedikit membentuk senyum Seokjin. Lelaki itu akhirnya mengangguk. "Baiklah jika itu yang kau inginkan."
Demi Tuhan, Irene senang setengah mati. Selama berhari-hari ia menggali informasi ini dan selalu mendapat penolakan, kini akhirnya sang informan bersedia untuk diwawancara.
Buru-buru Irene mengeluarkan recorder dan notebook yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia tulis sejak kemarin. "Jadi, Kim Seokjin, apa faktor utama yang membuat Anda harus tinggal di panti asuhan semasa kecil?" tanya Irene sopan selayaknya ia sedang mewawancara orang. Sebenarnya Seokjin ingin sekali tertawa melihat perlakuan Irene yang mendadak berubah drastis, namun ia tak ingin mengacaukan momen dimana Irene terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. Itu terlihat sangat menarik.
"Dulu aku miskin, sangat miskin sampai untuk makan saja kami harus mengemis. Karena tidak tahan dengan hidup yang berat, Ibuku aku bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke kereta. Lalu tidak lama setelah itu, Ayahku ketahuan mencuri di sebuah toko dan membuat orang-orang memukulinya. Dia pulang dengan keadaan lemas, tidak makan bahkan untuk berjalan saja tidak bisa. Then, he died..."
Irene sedikit kasihan mendengar hidup masa lalu Seokjin, tapi cewek itu berusaha untuk fokus demi sebuah artikel yang berkualitas.
"...setelah itu aku menjadi gelandangan. Aku mengemis dan mendatangi setiap rumah untuk meminta makan. Tak sedikit dari mereka yang mengusirku dengan kasar, bahkan beberapa menyumpahiku. Masih kuingat dengan jelas saat itu, kelaparan setelah berhari-hari tidak makan dan membuatku pasrah. Aku tergeletak lemas dipinggir jembatan. Pandanganku berkunang-kunang..." Seokjin menghentikan cerita ketika melihat Irene yang hampir meneteskan airmata.
"Don't cry. Your tears won't changed me at that time."
Gadis itu buru-buru mengusap airmatanya kasar. "Sorry, keep going..."
"Lalu seorang wanita datang, dia mengatakan bahwa dia akan merawatku. Dia membawaku ke sebuah rumah putih yang terlihat nyaman. Dia memandikanku, membersihkanku hingga aku terlihat seperti anak-anak pada umumnya. Dia memberiku makan. Entah berapa banyak aku menghabiskan makanannya, dia hanya tersenyum. Senyum seorang ibu yang pernah aku lihat..."
"...Everything went good, well not too good. Karena kedatanganku yang mendadak, tidak semua anak disana menyukaiku. Juga, aku tidak berani untuk berbaur dengan mereka. Dan akhirnya aku terisolasi ditempat yang layak. Yang kulakukan hanya menggambar instead everybody playing with each other...."
Seokjin tersenyum sedikit sebelum melanjutkan kembali ceritanya. Sepertinya ia mengingat hal bagus yang membuatnya tersenyum.
"Setelah seminggu aku tinggal disana, seorang gadis kecil datang sambil memegang boneka. Semua anak menyambutnya dengan baik yang bahkan membuatku cemburu. Gadis kecil itu tersenyum sangat lebar dengan rambutnya yang bergelombang. Tangannya tergips dan aku bisa menyimpulkan bahwa gadis itu baru saja keluar dari rumah sakit...."
"....semua orang terlihat senang, but not me. Mereka memanggil gadis itu dengan panggilan 'dalkkom'...."
Irene terhenyak. "D-dalkkom?" ulangnya tak percaya. "Kau berbohong, kan?" cicit gadis itu.
Seokjin mengedikkan bahunya tidak peduli dengan reaksi Irene. "Aku menyadarinya saat pertama kali mendapatimu diantara kerumunan wartawan. That's Dalkkom, Dalkkom The Girl..."
Irene menggeleng, menolak perkataan Seokjin. "Tapi kau bukan dari panti asuhan..." Gadis itu diam. Dia menatap Seokjin tak percaya. "Kau Seokjin, kan?"
"Of course I'm Seokjin. Who the hell Seokjin unless me?"
"Bukan, kau Seokjin. Seokjin..." Irene mengeluarkan sepotong kertas dari dalam dompetnya. Kertas lusuh dengan bekas lipatan permanen. "...Seokjin who drew this to me when I was crying at night..." Kertas itu ditunjukkan pada Seokjin. Kertas bergambar dua kupu-kupu berwarna ungu.
Kali ini balas Seokjin yang terhenyak kaget. "You still have it?"
"I always do. Oh my fucking God, Seokjin, I've been waiting for you all this time!"
Irene tak bisa menahan kakinya untuk berdiri lagi. Ia terduduk sambil mengusap rambutnya frustasi.
"Why?" Seokjin membulat. Pikirannya hambar.
"Because you told me I had to waiting!"
Seokjin tidak dapat berpikir apapun. Ia menerjang kearah Irene, menciumi bibir gadis itu kasar. Merasakan bagaimana hasratnya selama ini terhadap bibir mungilnya. Rasa stoberi yang melumuri bibir Irene dapat Seokjin cicipi. Dan secara perlahan ia menyelipkan lidahnya bersama dengan lidah Irene. Memainkan benda tak bertulang itu hingga keduanya merasa sesak.
"Kenapa? Kenapa kau bersedia menunggu begitu lama?" tanya Seokjin frustasi. Nafasnya dan nafas Irene tersengal-sengal.
"I have no idea..."
Irene tak menolak ketika Seokjin mulai melepaskan bajunya satu persatu hingga akhirnya yang tersisa hanya pakaian dalam. Seokjin mengeksplorasi setiap inci tubuhnya. Memberikan ciuman pada setiap kulit putih Irene. Kemudian melepaskan pakaian terakhir ditubuh Irene.
Sentuhan Seokjin bagaikan rembulan. Terasa indah namun samar. Nampak tapi tak nyata. Seperti bangkitnya kembali cinta yang terkubur begitu lama, Seokjin berhasil menjadikan Irene sebagai wanitanya. Dengan segala buaian masa lalu dan pengorbanan yang tak terhingga, Irene bisa merasakan perasaan aneh menguar dari cowok tersebut.
"Bae, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku mencintaimu, Bae Irene. Sejak dulu, sejak pertama kali aku melihatmu berlari-lari sambil membawa boneka kelinci. Aku mencoba untuk mengetahui kabarmu setelah kebakaran itu. Aku mencarimu selama tujuh belas tahun dan saat aku berhasil menemukanmu, aku ragu. Kau terlihat berbeda...."
"...membuatku tidak yakin jika kau masih mengingatku, mengingat janji yang kau buat atau bahkan menyimpan benda itu..."
Irene tersenyum manis. Seperti senyum yang pertama kali Seokjin lihat waktu itu. "Karena itu satu-satunya benda yang tersisa darimu. Aku tidak mungkin menghilangkannya..."
Sun kissed the moon. Makes earth jealous.